English By Radio Elvictor FM

English By Radio Elvictor FM

Minggu, 02 November 2008


MENGAJAR SESUAI DENGAN TALENTA ANAK
Oleh : Sulardi,S.Pd,MM


Upacara penutupan Paralympic Games XII atau Olimpiade Penyandang Cacat di Athena, Yunani, digetarkan oleh atraksi luar biasa dari kelompok penari Negeri Tirai Bambu, Disabled People Performing Art, dalam pentas bertajuk ”My Dreams-from Olympia to Forbidden City”. Pentas spektakuler ini mengusung sebuah tarian Thousand-Hand Bodhisattva.
Pertunjukan ini menggambarkan Guan Yin (Kuan In) Seribu Tangan yang suci dan selalu welas asih memberkati seluruh umat manusia. Sebanyak 21 penari membentuk barisan sejajar dan menggerakkan tangan secara selaras membentuk helaian sayap merak sebagai harmoni keindahan.
Tampak dari depan, seolah Sang Dewi sedang menggerakkan ribuan tangannya dengan serasi dan indah. Pertunjukan semakin mencengangkan dan mengharukan manakala semua pemainnya merupakan penyandang tunarungu dan tunawicara. Kekaguman semakin memuncak ketika tanpa disangka, sembilan pemain di antaranya adalah pria. Dengan postur tubuh, ukuran tangan, dan kelembutan gerakan mereka luruh dalam kesatuan harmoni musik khas China. Dengan didampingi empat instruktur, mereka mampu memainkan gerakan rumit yang tetap kompak dan memesona.
Menggali keunikan talenta
Dari pertunjukan tersebut, sebenarnya kita diajak melihat core value dari keberhasilan sebuah proses pendidikan. Semua pemain pertunjukan tersebut merupakan orang yang memiliki sisi kekurangan dan kelemahan. Bahkan, di kalangan masyarakat luas telah terjadi stigmatisasi kelemahan permanen bagi mereka. Namun dengan segala kelemahan yang mereka miliki, seorang instruktur mampu membalikkan genotipe kelemahan menjadi talenta yang terpoles mengilap.
Butuh waktu untuk berproses dalam alur pembelajaran ini. Apalagi secara manusiawi, penyandang tunarungu akan kesulitan untuk mengikuti alunan ritme musik. Selain adanya proses belajar, para instruktur pertunjukan itu telah memperagakan bukan hanya proses pembelajaran, tetapi sekaligus proses pendidikan.
Ada dua hal penting dalam proses pembelajaran dari pendidikan ini, yaitu kepercayaan para instruktur bahwa anak didiknya memiliki talenta di antara sisi kelemahannya dan ketulusan hati para penari untuk percaya kepada instrukturnya. Alhasil, saat pertunjukan, para penari tidak hanya mampu membawakan keluwesan dan kekompakan gerakan. Namun lebih dari itu, dari senyum dan raut muka mereka tampak sebuah ketulusan untuk memberikan yang terbaik kepada para penonton.
Mereka tidak memahami keselarasan irama musik yang mengalun, tetapi tetap mempersembahkannya dengan tulus. Mereka tidak mampu menikmati keutuhan hasil karya mereka, tetapi tetap percaya dan tulus memberi yang terbaik. Satu saja gerakan yang tidak dilakukan dengan tulus akan mampu membuyarkan kekompakan seluruh penampilan mereka.
Tidak ada siswa yang bodoh
Herber Spencer pernah memberikan sebuah petuah bijak, ”The great aim education is not knowledge but action”. Kata-kata itulah yang selama ini menjadi jargon pendidikan yang justru sering terlupakan.
Sistem pendidikan kita sebenarnya telah mengacu pada rintisan petuah Spencer. Namun implementasi di lapangan, banyak kebijakan yang justru melenceng dari naluri dasar pendidikan.
Banyak cara mendidik kita selama ini sekadar memberikan materi pelajaran tanpa mampu mengolah ketulusan hati seorang siswa. Pada akhirnya, siswa hanya sebuah celengan yang selalu dijejali ”kepingan” materi pelajaran belaka tanpa mampu berempati terhadap situasi di sekelilingnya.
Bagi seorang guru, modal utama dalam mendidik adalah kepercayaan bahwa para siswa yang dihadapinya bukan seorang pribadi bodoh tanpa kemampuan. Meskipun mereka memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan, para pendidik seharusnya percaya bahwa ada talenta luar biasa di antara sisi kelemahan tersebut.
Selama ini kita telah dibiasakan memberi nilai siswa dari angka nol, yang berarti kita beranggapan bahwa siswa tidak bermodal apa pun saat mengerjakan soal tes. Mengapa kita tidak mengubah cara menilai dari angka seratus?
Kita seharusnya menganggap bahwa para siswa telah memiliki bekal kemampuan sehingga kesalahan menjawab soal tes digunakan untuk mengurangi angka seratus. Tanggung jawab seorang pendidik bukan hanya transfer ilmu secara masa bodoh, tetapi juga harus mampu menggali dan memoles keunikan talenta siswa yang tersembunyi.
Dengan bermodal kepercayaan terhadap sisi kemampuan siswa, seorang pendidik diharapkan telah mampu menyelami diri siswa secara cura personalis. Berbekal pendekatan pribadi inilah kita seharusnya mampu menggantungkan harapan penuh terhadap para pendidik. Kenyataan selama ini, kita sulit menemukan siswa dengan kepribadian tulus.
Para siswa dianggap cakap dalam kapasitasnya sebagai pelajar dengan kriteria mampu menguasai materi ajar. Semakin banyak materi pelajaran yang dikuasai, maka akan muncul anggapan siswa tersebut semakin pandai. Padahal, menurut Howard Gardner, ada multiple intelligences dalam setiap pribadi. Tidak hanya menguasai materi pelajaran, tetapi mampu memunculkan aksi untuk berekspresi dan menjalin relasi dengan orang lain, serta peka terhadap situasi sosialnya.
Semakin melonjaknya jumlah koruptor di negeri ini merupakan bukti kurang optimalnya proses pendidikan anak bangsa selama ini. Proses pendidikan kita baru sebatas memunculkan angka dan eksekusi lulus atau tidak lulus. Pendidikan kita belum mampu memberi waktu luang bagi para guru untuk membangun karakter ketulusan siswa. Para pendidik akhirnya tidak mampu berbuat lebih untuk menyentuh dimensi hati para siswa karena tuntutan spasial project kurikulum pemerintah.
Sebatas mentransfer
Dari sisi para siswa, tampak bahwa tidak ada lagi ”kepercayaan” terhadap gurunya. Para guru telah memiliki habits sebatas mentransfer materi pelajaran tanpa berkebiasaan merefleksikannya dalam kehidupan siswa setiap hari.
Tidak akan ada waktu lagi untuk menggali nilai hidup dan sekadar 10 menit di akhir pelajaran untuk bersama berefleksi terhadap materi pelajaran hari itu. Kebisaan inilah yang tidak lagi memunculkan rasa sungkan siswa terhadap guru, apalagi menjadikan guru sebagai suri teladan kehidupannya.
Saat ini, tidak ada beda antara guru dan CD multimedia pembelajaran. Bahkan lebih manjur dan mengasyikkan CD pembelajaran dalam menyampaikan pelajaran dibandingkan dengan seorang guru.
Hati tulus yang terbentuk dari proses pendidikan kita semakin jauh dari angan. Akhirnya akan sulit menemukan seorang pelajar dengan bekal ilmunya secara tulus mau memberi dan bersimpati terhadap lingkungannya.
Mendekatkan sistem pendidikan dengan pengolahan kepribadian dan mengubah cara pandang terhadap kelemahan siswa mutlak diperlukan untuk menanggulangi krisis ketulusan bangsa ini.
”Cacat tubuh bukan kekurangan, melainkan satu keistimewaan dalam perbedaan yang ada di antara umat manusia. Cacat tubuh bukan ketidakberuntungan, ia tidak lebih hanyalah ketidakpraktisan” (Tai Li Hua, pemimpin tarian Thousand- Hand Bodhisattva yang juga tunarungu dan tunawicara).

Read More...


PERANAN KECERDASAN EMOSIONAL DALAM PBM
Oleh : Sulardi,S.Pd,MM

Akar kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa Latin yang berarti ‘menggerakan, bergerak’, ditambah awalan “e’ untuk memberi arti “bergerak menjauh’, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Bahwasanya emosi memancing tindakan yang tidak rasional.
Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya (keadaan biologis dan psikologis), serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Ada ratusan emosi, bersama dengan campuran, variasi, mutasi, dan nuansanya. Sejumlah teori mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan:
• Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati, rasa pahit, berang, tersinggung, dan bermusuhan.
• Kesedihan pedih, suram, melankolis, mengasihi diri, kesepian, ditolak, putus asa.
• Rasa Takut : cemas, gugup, khawatir, waspada, tidak tenang, ngeri, fobia.
• Kenikmatan : bahagia, gembira, puas, bangga, terpesona, dan senang.
• Cinta : kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
• Terkejut : terkejut, terkesiap, takjub, terpana.
• Jengkel : hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.
• Malu : rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.
Dengan kata lain, apakah pengertian “kecerdasan emosional” (EQ) itu? Jawabannya, EQ adalah serangkaian kemampuan mengontrol dan menggunakan emosi, serta mengendalikan diri, semangat, motivasi, empati, kecakapan sosial, kerja sama, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.

2. Lima Aspek Kecerdasan Emosional

a. Mengenali emosi diri (Emotional Awareness)
Inti dan kecerdasan emosional adalah kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul, ciri kesadaran ini dilukiskan sebagai “perhatian tak memihak’. Kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut kedalam emosi, bereaksi secara berlebih an dan melebih-lebihkan apa yang diserap?

b. Mengelola emosi (Managing Emotion)
Emosi bukan untuk ditekan, karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Sebagaimana yang diamati Aristoteles, yang dikehendaki adalah emosi yang wajar, yakni adanya keselarasan antara perasaan dan lingkungan.

c. Memotivasi diri sendiri (Self Motivation)
Kecerdasan emosional dapat merupakan kecakapan utama apabila kita dapat mengelola tingkat emosi yakni dengan jalan mempertinggi kemampuan lainnya misalnya antusiasme, semangat, tekun, gigih, dan ulet.


d. Mengenali emosi orang lain (Managing Conflict/Empati)
Akar permasalahan disini adalah Empati (Empathia) yang artinya, adalah ikut merasakan bagaimana perasaan orang lain. Suatu kemampuan Empati dapat di tumbuhkan sejak bayi, dengan mulai belajar mensetarakan/menyelaraskan emosi.

e. Membina hubungan (Social Comunication)
Salah satu kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaannya sendiri (Tata Krama Tampilan). Dalam bersosialisasi hendaknya kita mempunyai tampilan emosi yang baik. Karena kecerdasan emosional mencakup dalam menangani hubungan sosial dan dapat menularkan emosi positif.


Sebagai pendidik yang terampil secara emosional dapat sangat membantu anak didik dengan memberi keterampilan emosional. Hasil dari beberapa survei membuktikan bahwa anak didik yang telah mendapat pendidikan EQ mempunyai sifat sbb:
• Lebih pintar menangani emosinya dan lebih stabil emosinya
• Lebih dapat berkonsentrasi
• Lebih bertanggung jawab dan lebih tegas
• Lebih memahami orang-orang lain
• Lebih terampil dalam menyelesaikan konflik
• Berfikir dahulu sebelum bertindak
• Lebih memahami akibat-akibat dari tindak tanduk mereka

Read More...

MIND MAPPING
Oleh : Sulardi,S.Pd,MM

Mind Mapping atau Peta Pikiran adalah metode mempelajari konsep yang ditemukan oleh Tony Buzan. Konsep ini didasarkan pada cara kerja otak kita menyimpan informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa otak kita tidak menyimpan informasi dalam kotak-kotak sel saraf yang terjejer rapi melainkan dikumpulkan pada sel-sel saraf yang berbercabang-cabang yang apabila dilihat sekilas akan tampak seperti cabang-cabang pohon.
Dari fakta tersebut maka disimpulkan apabila kita juga menyimpan informasi seperti cara kerja otak, maka akan semakin baik informasi tersimpan dalam otak dan hasil akhirnya tentu saja proses belajar kita akan semakin mudah.
Dari penjelasan diatas, bisa disimpulkan cara kerja Peta Pikiran adalah menuliskan tema utama sebagai titik sentral / tengah dan memikirkan cabang-cabang atau tema-tema turunan yang keluar dari titik tengah tersebut dan mencari hubungan antara tema turunan. Itu berarti setiap kali kita mempelajari sesuatu hal maka fokus kita diarahkan pada apakah tema utamanya, poin-poin penting dari tema yang utama yang sedang kita pelajari, pengembangan dari setiap poin penting tersebut dan mencari hubungan antara setiap poin. Dengan cara ini maka kita bisa mendapatkan gambaran hal-hal apa saja yang telah kita ketahui dan area mana saja yang masih belum dikuasai dengan baik.
Beberapa hal penting dalam membuat peta pikiran ada dibawah ini, yaitu:
1. Pastikan tema utama terletak ditengah-tengah
Contohnya, apabila kita sedang mempelajari pelajaran sejarah kemerdekaan Indonesia, maka tema utamanya adalah Sejarah Indonesia.
2. Dari tema utama, akan muncul tema-tema turunan yang masih berkaitan dengan tema utama
Dari tema utama "Sejarah Indonesia", maka tema-tema turunan dapat terdiri dari : Periode,Wilayah, Bentuk Perjuangan ,dll.
3. Cari hubungan antara setiap tema dan tandai dengan garis, warna atau simbol Dari setiap tema turunan tertama akan muncul lagi tema turunan kedua, ketiga dan seterusnya. Maka langkah berikutnya adalah mencari hubungan yang ada antara setiap tema turunan. Gunakan garis, warna, panah atau cabang dan bentuk-bentuk simbol lain untuk menggambarkan hubungan diantara tema-tema turunan tersebut..
Pola-pola hubungan ini akan membantu kita memahami topik yang sedang kita baca. Selain itu Peta Pikiran yang telah dimodifikasi dengan simbol dan lambang yang sesuai dengan selera kita, akan jauh lebih bermakna dan menarik dibandingkan Peta Pikiran yang "miskin warna".
4. Gunakan huruf besar
Huruf besar akan mendorong kita untuk hanya menuliskan poin-poin penting saja di Peta Pikiran. Selain itu, membaca suatu kalimat dalam gambar akan jauh lebih mudah apabila dalam huruf besar dibandingkan huruf kecil. Penggunaan huruf kecil bisa diterapkan pada poin-poin yang sifatnya menjelaskan poin kunci.
5. Buat peta pikiran di kertas polos dan hilangkan proses edit
Ide dari Peta Pikiran adalah agar kita berpikir kreatif. Karenanya gunakan kertas polos dan jangan mudah tergoda untuk memodifikasi Peta Pikiran pada tahap-tahap awal. Karena apabila kita terlalu dini melakukan modifikasi pada Peta Pikiran, maka sering kali fokus kita akan berubah sehingga menghambat penyerapan pemahaman tema yang sedang kita pelajari.
6. Sisakan ruangan untuk penambahan tema
Peta Pikiran yang bermanfaat biasanya adalah yang telah dilakukan penambahan tema dan modifikasi berulang kali selama beberapa waktu. Setelah menggambar Peta Pikiran versi pertama, biasanya kita akan menambahkan informasi, menulis pertanyaan atau menandai poin-poin penting. Karenanya selalu sisakan ruang di kertas Peta Pikiran untuk penambahan tema.

Read More...

Sabtu, 25 Oktober 2008

Mendambakan Guru yang Humoris
Oleh: SULARDI , S.Pd.MM
Guru Bahasa Inggris di SMK Penerbangan Sedati Sidoarjo





Era reformasi yang identik dengan rumit, runyam, dan semrawutnya kehidupan di negeri tercinta ini sangat mengguncang fisik dan psikis masyarakat. Kondisi perpolitikan, perekonomian, pendidikan, bahkan sampai dengan moralitas hampir-hampir terpuruk sampai pada titik terendah. Belum lagi ditambah dengan kondisi alam yang kurang bersahabat, berbagai bencana melanda dan mendera di sana-sini sungguh merupakan beban yang makin berat menindih kehidupan bangsa ini. Hal ini membawa konsekuensi kerasnya pola kehidupan yang cenderung menjadi sensitif, emosional, dan temperamental di seluruh lapisan masyarakat termasuk para pelajar/siswa. Bukti-bukti sangat banyak dan tidak perlu diragukan, bisa disimak di semua media baik cetak maupun elektronika. Berapa banyak siswa terlibat kekerasan, berapa banyak siswa jualan koran, asongan, sampai dengan pemulung dan anak jalanan hanya karena terpaksa harus membantu meringankan beban ekonomi orangtuanya. Dunia rekreatif nyaris tak pernah tersentuh oleh mereka.

Dari ilustrasi di atas dapat dibayangkan betapa berat beban hidup siswa ketika di luar sekolah. Belum lagi di sekolah harus dituntut mengikuti pelajaran ini dan itu, menyelesaikan tugas dari guru ini dan itu. Hal yang demikian masihkah harus ditambah dengan tampang, peampilan, dan perlakuan-perlakuan yang menyeramkan dan tidak menyenangkan ketika di sekolah. Jawabannya sudah barang tentu tidak. Kondisi yang demikian seyogianya dicarikan kompensasi penawarnya demi terwujudnya tujuan sebuah pembelajaran yang optimal. Untuk itu, guru yang humorislah salah satu alternatifnya.

Guru yang humoris senantiasa cerdas dalam menciptakan dan mengondisikan suasana pembelajaran yang memnyenagkan dan menggairahkan bagi para siswanya. Kelakar dan joke-joke segar senantiasa bisa dimunculkan dan dikaitkan dangan berbagai konteks dan materi dalam pembelajaran. Apapun materinya dan bagaimanapun suasananya, guru yang humoris mampu meramu menjadi sebuah anekdot yang menggelitik dan menggelikan. Sudah barang tentu hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah menyesuaikan materi anekdot dengan tingkat perkembangan usia siswa. Sehingga, dengan suasana yang cair dan segar tersebut, pembelajaran menjadi menyenangkan dan menggairahkan. Secara psikologis siswa siap untuk menerima pelajaran, materi yang menjemukan menjadi mengasyikkan, yang sulit menjadi gampang. Seorang guru jangan terlalu berharap dengan hasil pembelajaran yang maksimal apabila tidak bisa menciptakan kondisi awal siswanya untuk siap menerima pelajaran. Salah satu indikator siswa siap belajar adalah siswa dipastikan senyum (tertawa) sebelum pelajaran dimulai.

Jangan pernah memulai pelajaran sebelum siswa Anda "unjuk gigi" (baca: senyum atau tertawa). Jika wajah para siswa Anda masih layu, cemberut, asam, muram, apalagi tegang jangan mulai atau hentikan dulu pemembelajaran Anda. Kalau boleh dianalogikan pembelajaran itu seperti orang mengisikan air dari ember ke dalam gelas-gelas, ketika guru memasuki ruang kelas, siswanya itu seperti deretan gelas yang masih berantakan. Ada yang sudah tegak dan tengadah, ada yang masih miring, roboh, bahkan ada yang masih tengkurap. Bagi yang sudah tegak dan tengadah, gelas tersebut siap diisi oleh guru dengan air (ilmu pengetahuan), namun bagaimana dengan gelas yang masih dalam posisi miring, roboh, bahkan yang masih tengkurap itu. Bisa masukkah seandainya seember air dikucurkan kepada gelas-gelas tersebut? Itulah tugas guru untuk mengondisikannya lebih dahulu dengan kelakar dan joke-joke segarnya.

Sudah banyak teori yang menyarankan penerapan pembelajaran yang menyenangkan. Di antaranya Quantum Teaching, Quantum Learning, PAKEMI (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, dan Inovatif), bahkan secara eksplisit juga sudah diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, dan menyenangkan. Semua ini kata kuncinya adalah guru. Bisakah guru membawa siswanya ke dalam dunia pembelajaran yang menyenangkan. Salah satu tipe guru yang memenuhi syarat untuk hal tersebut adalah guru yang humoris.

Secara umum guru yang humoris adalah sosok guru yang dekat di hati siswanya. Dengan kedekatan tersebut, ada kontribusi positif terhadap keberhasilan pembelajaran. Kehadiran guru di kelas dan di arena pembelajaran senantiasa dirindukan oleh para siswanya. Keteladanan dan performennya pasti diidolakan di kalangan siswanya. Begitu pula apa yang disampaikan (pelajaran) oleh guru akan diterimanya dengan antusias dan perasaan yang menyenangkan. Mustahil seseorang bisa menerima sesuatu (baca: pengetahuan) dari orang lain tanpa dilandasi rasa senang dan suka (cinta).

Sulit kiranya seorang guru yang memiliki sifat antagonis dengan sifat humor untuk dapat menciptakan situasi pembelajaran seperti yang disarankan di atas. Katakanlah sebagai antagonis sifat humor adalah pemarah, seram atau galak, atau lebih baik dari itu adalah serius (kaku). Kharakter-kharakter tersebut sulit digunakan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan. Justru sebaliknya, kharakter-kharakter tersebut akan menghasilkan suasana pembelajaran yang kaku, beku, dan menyeramkan bagi siswa yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya hal-hal yang buruk bagi perkembangan siswa baik secara pedagogis maupun psikologis.

Rangkaian sifat pemarah, seram, galak dari seorang guru biasanya adalah hukuman atau sanksi bagi para siswa baik sekadar berupa bentakan, makian, sampai dengan hukuman fisik (tindakan). Hal yang demikian tidak memberikan dampak yang positif terhadap pembelajaran, justru sebaliknya. Marah dan hukuman fisik yang keras bukan merupakan tindakan perbaikan, melainkan hanya merupakan tindakan balas dendam. Pembelajaran dan pendisiplinan yang dilakukan dengan marah dan hukuman hanya akan menghasilkan akibat buruk seperti di bawah ini.

Pertama, cacian, makian, serta tindakan keras secara lambat laun akan menjadikan siswa percaya bahwa mereka adalah persis dengan apa yang dikatakan oleh guru kepadanya. Karena, seakan-akan guru - yang juga merupakan orangtua keduanya - benci kepadanya dan pada akhirnya ia juga segera membenci dirinya sendiri.

Kedua, sebagai akibat berikutnya adalah anak akan kehilangan kepercayaan diri sendiri atau selalu merasa rendah diri. Bagaimana mereka bisa percaya diri untuk berhasil apabila mereka selalu merasa tidak bernilai. Semangat mereka akan selalu dilemahkan oleh perasaannya sendiri bahwa dirinya adalah sosok yang rendah, tidak mampu, bahkan hina seperti isi caci-maki gurunya. Pikiran mereka selalu dipenuhi dengan rasa bersalah dan perasaan tidak bernilai terhadap dirinya. Akhirnya, mereka tidak pernah bisa memecahkan permasalahannya karena permasalahan tersebut tidak pernah menjadi bahan dan materi dalam pikirannya. Mereka senantiasa memikirkan rasa bersalah dan betapa tidak bernilainya diri mereka.

Ketiga, setiap siswa yang berhasil dalam proses belajar pasti sadar bahwa kerja keras akan memberikan suatu tingkat keunggulan pada dirinya dan sebaliknya kelalaian akan memberikan petaka/ kerugian. Sementara, siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui kemarahan akan mengalami kesulitan untuk belajar dari kesalahan dan kegagalan. Siswa yang biasa dicaci-maki, dihukum, dan dikritik dengan rasa marah akan menjadi begitu takut. Sehingga, mereka segera belajar bahwa tindakan yang aman adalah tidak berbuat atau bertindak apa-apa. Mereka selalu takut salah yang pada akhirnya tidak pernah ingin mencoba dan mencoba lagi. Karena ketakutannya tersebut mereka menjadi canggung dan selalu beranggapan bahwa dirinya sebagai orang yang tidak cakap dan orang yang gagal.

Keempat, harapan guru untuk sukses dan berhasil dalam pembelajarannya adalah sesuatu yang wajar. Namun, kemarahan dalam proses membelajarkan mereka akan menimbulkan pergumulan antara keinginan mereka untuk berhasil dengan tuntutan keberhasilan dari guru. Jika sikap mental ini menjadi pilihan mereka, maka siswa akan menjadi tegang dalam menyelesaikan setiap tugas-tugasnya. Sebab, mereka akan merasa selalu dihantui oleh tuntutan-tuntutan tersebut.

Kelima, bila siswa sudah mulai menyadari bahwa kemarahan guru terhadap kesalahannya memang benar, mereka akan merasa sakit hati dan benci kepada orang yang menghukumnya. Kalau siswa sudah benci kepada seorang guru, jangan berharap mereka akan mengikuti pelajaran guru tersebut dengan baik. Sebab, kebencian siswa kepada seorang guru identik dengan kebencian siswa kepada pelajaran yang diampu oleh guru tersebut. Lebih jauh dari hal tersebut, kebencian siswa kepada guru akan menimbulkan rasa balas dendam yang akibatnya tidak pernah kita inginkan.

Masih lekat di ingatan kita beberapa prinsip dalam revolusi belajar. Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan; jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas; jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu; jika anak tidak banyak dipersalahkan, ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri; jika anak mengenyam rasa nyaman, ia akan terbiasa mengandalkan diri dan mempercayai orang sekitarnya; jika anak dikerumuni keramahan (baca: humor), ia akan terbiasa berpendirian. Selamat merefleksi diri dan merenung kembali wahai para guru.

Read More...

Membangkitkan Roh Pendidikan
Oleh : Sulardi , S.Pd.MM
Guru Bahasa Inggris SMK Penerbangan Sedati


Tidak ada bangsa yang bangkit dari keterpurukan kalau pendidikannya mlempem. Filosofi ini perlu ditanamkan bagi bangsa Indonesia umumnya dan pimpinan partai politik pada khususnya, yang notabene sudah memulai kampanye pemilu. Hal ini penting karena jalannya roda pendidikan kita masih terseok-seok dan ada beberapa faset yang hilang.

Ada cerita empiris yang pernah di alami teman saya ketika study di Jepang. Bersama seorang sahabat asli Jepang yang berprofesi sebagai dosen di Showa University dia menghabiskan waktu sigh seeing Tokyo. Ketika turun dari kereta api di Stasiun Shinjuku, temannya itu membungkukkan badan 90 derajat sebagai tanda penghormatan kepada seseorang yang berpapasan dengannya. Ketika teman saya bertanya siapa orang itu, dia menjawab orang tersebut adalah guru dari anaknya yang masih belajar di SD.

Pendidikan di Jepang mengajarkan siswa hormat kepada siapa saja, terutama orang tua dan guru (sensei). Guru di Jepang sangat terhormat, bukan saja siswanya tetapi keluarga siswanya pun memberi hormat. Orang Jepang tadi meski ia seorang intelektual, master, doktor, dan dosen ahli di universitas terkenal tetap saja memberikan penghormatan yang tulus kepada seorang yang hanya berprofesi sebagai guru SD. Hal yang sederhana tetapi penuh makna seperti itulah yang hilang dari pendidikan nasional kita sekarang.

Roh pendidikan

Penghormatan kepada guru merupakan cermin kehidupan masyarakat Jepang. Meskipun tidak mampu berkelit dari kehidupan industrialis yang sarat dengan kompetisi, nilai-nilai bijak masyarakat Jepang seperti menghormati orang lain, toleransi, dan saling sapa tetap dipertahankan, bahkan dikembangkan di sekolah. Pengembangan nilai-nilai bijak tersebut diyakini sangat efektif melalui pendidikan dan hasilnya tecermin dalam kehidupan bermasyarakat.

Masyarakat Jepang sangat menghormati guru karena pada umumnya sang guru menganggap anak dalam pengertian keluarga ketika mendidik anak didiknya. Tanggung jawab guru dalam memajukan siswa, baik intelek-tual maupun kepribadian, sungguh-sungguh tidak diragukan. Di sinilah letak kunci penghormatan itu.

Karena siswa sudah dianggap sebagai anak dalam pengertian keluarga maka dalam mendidik siswa, seorang guru melakukannya dengan rasa kasih sayang (love and affection), penuh keikhlasan (sincerely), kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual), dan dalam suasana kekeluargaan (family atmosphere). Dalam hal ini seorang guru menempatkan diri bukan sebagai seorang pegawai yang harus mengajar siswa dengan sistem penjadwalan waktu yang ketat, tetapi guru tersebut menempatkan dirinya sebagai orang tua yang sedang membimbing dan mengasuh anaknya.

Rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, serta suasana kekeluargaan itulah yang sering saya namakan dengan roh pendidikan. Roh pendidikan merupakan napas kehidupan di setiap lini, lorong, dan sudut pendidikan.

Dalam konsep Ki Hadjar Dewantara, pendidikan yang dilaksanakan dengan penuh rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dalam suasana kekeluargaan itu disebut dengan Sistem Among. Selanjutnya para guru atau pendidik yang bisa memerankan fungsinya secara baik disebut dengan pamong.

Dalam konsep Ki Hadjar Dewantara, guru tidak dibatasi waktu dan tempat dalam mendidik siswa sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Pagi hari, siang hari, sore hari, petang hari, dan bahkan malam hari pun seorang guru harus ikhlas memberikan bimbingan kepada siswa. Demikian pula tempat pendidikannya pun tidak dibatasi di ruang-ruang kelas, tetapi di mana saja seorang guru harus sanggup berperan.

Dibangkitkan kembali

Dalam era globalisasi yang penuh tekanan dan kompetisi saat ini maka roh pendidikan pantas diungkap kembali. Kenapa? Dalam realitasnya roh pendidikan sudah hilang dari sekolah. Banyak sekolah yang kehilangan roh pendidikan sehingga hubungan antara guru dan siswa, antarsiswa, dan antarguru menjadi hubungan yang formalistis dan mekanistis belaka.

Andaikan ada ukuran keikhlasan, sincerelymeter misalnya, sekarang sulit untuk mendapatkan guru yang mengajar penuh dengan keikhlasan. Kalau ada 100 guru, barangkali mencari lima orang saja yang ikhlas mengajarnya sangat sulit ditemukan. Belum lagi guru yang mengajar dengan kasih sayang, kejujuran, agamis, dan dalam suasana kekeluargaan.

Tanpa bermaksud mengecilkan arti UU Guru dan Dosen, makna keprofesionalan yang digariskan dalam undang-undang ini kurang menyentuh aspek keikhlasan, kasih sayang, dan sebagainya itu. Kalau kita pahami UU Guru dan Dosen, kriteria keprofesionalan seorang guru hanya berkisar pada masalah kualifikasi pendidikan minimal, kesehatan jasmani dan rohani, serta kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.


Kriteria kasih sayang, kejujuran, keikhlasan, keagamaan, dan suasana kekeluargaan sama sekali tidak tersentuh oleh UU Guru dan Dosen. Jadi, mungkin saja terjadi ada guru yang tidak jujur, tidak ikhlas, dan tidak dengan kasih sayang dalam mendidik siswa bisa dinobatkan sebagai guru yang profesional. Kalau ini terjadi betapa ironisnya.

Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia memang sudah meninggalkan kita semua. Namun, menjaga roh pendidikan kiranya tetap menjadi tanggung jawab kita semua, bahkan roh pendidikan itu harus kita bangkitkan kembali.

Read More...

Quo Vadis Sekolah Berstandar Internasional?
Oleh : Sulardi ,SPd,MM

"In times of drastic change, it is the learners who inherit the future." (E Hoffer)

Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003, pemerintah memperkenalkan klasifikasi sekolah baru. Sekolah itu antara lain disebut sekolah bertaraf internasional (SBI), sekolah dengan kategori mandiri (SKM), dan kelompok sekolah biasa (SB). Pada SBI, pihak penyelenggara pendidikan diberi ruang untuk menggunakan silabus pembelajaran dan penilaian yang umumnya dipakai pada sekolah menengah di negara-negara yang tergabung dalam OECD. Silabus pembelajaran dan penilaian itu hanya berfungsi sebagai bahan pengayaan terhadap kurikulum nasional (KTSP). Sementara itu, untuk sekolah dengan kategori mandiri, pihak penyelenggara pendidikan dapat memakai sistem kredit semester (SKS) sebagaimana lazimnya di perguruan tinggi. Di sisi lain, sekolah biasa hanya menyelenggarakan kegiatan pendidikan secara klasikal dan dengan menggunakan KTSP. Meskipun klasifikasi sekolah itu mungkin dipandang baik untuk mendorong perubahan dan meningkatkan kualitas pendidikan, karena sosialisasinya belum berjalan maksimal, hasilnya masih sedikit membingungkan masyarakat.

Pada 2004/05, SMA Negeri 70 Jakarta dan SMA Labschool mulai mengadopsi silabus Cambridge Advance Level (A Level) guna memperkaya kurikulum nasional pada siswanya. Selanjutnya program yang sama diperkenalkan di SMA Negeri 8 Jakarta, SMA Negeri 21 Jakarta, dan SMA Negeri 68 Jakarta. Sekarang, sekolah bertaraf internasional (SBI) itu sudah tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Air. Diperkirakan, menjelang berakhirnya tahun anggaran 2009, jumlah SBI akan mencapai 260 sekolah, terdiri dari SMA 100 sekolah, SMP (100), dan SMK (60) yang diharapkan akan mampu melepaskan predikat sekolah rintisannya (Pena Pendidikan/edisi daring, 28 Maret 2008).

Good practice

Meskipun penyelenggaraan program kualifikasi internasional masih relatif singkat, beberapa sekolah yang menggunakan Cambridge IGCSE/A Level di Jakarta sudah mulai berhasil menunjukkan hasil kerja kerasnya. Prestasi dan kemajuan yang diperoleh itu merupakan hasil pembinaan, dampingan, dan pengawasan yang dilakukan secara sistematis, teratur, dan terukur oleh tim pengembang SBI yang dibentuk Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta. Hal itu dapat dilihat dari semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya untuk terus belajar dan berefleksi (reflective teaching and learning) serta berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap pendidikan demokratis dan multikultural sebagaimana dibuktikan saat mereka melayani siswa dengan kemampuan, kecepatan, dan minat yang beragam. Guru dalam SBI semakin memahami makna dari konsep pembelajaran deep-learning, higher order thinking skills, dan contextual learning bagi siswa dan semakin mengetahui keterbatasan dan manfaat dari pembelajaran rote learning yang selama ini biasa dipakai di sekolah. Sementara itu, kemajuan pada siswa ditunjukkan dengan semakin tampaknya sikap kemandirian, tanggung jawab, kemampuan bekerja sama, kejujuran, toleransi, dan risk taking.

Hasil perolehan siswa pada ujian IGCSE dalam tiga tahun pertama (2005-2007) cukup menggembirakan. Sebagaimana diketahui, program Cambridge A Level merupakan golden standard-nya Cambridge International Examination (CIE) yang sertifikatnya sudah diakui sejumlah universitas ivy league mancanegara, seperti University of Cambridge, Oxford University, Harvard University, MIT, dan Stanford University. Kelebihan lain dari program ini adalah pembelajaran dan penilaian Cambridge IGCSE lebih menekankan pada kemampuan pemecahan masalah, menumbuhkan pemikiran kreatif, dan autentik (contextual learning), maka materinya terkesan sedikit lebih sulit. Pada IGCSE, hampir seluruh mata pelajaran yang dipilih (matematika, english as a second language, fisika, kimia, dan biologi), prestasi siswa sangat memberikan harapan seperti terlihat pada grafik perbandingan hasil IGCSE 2005-2006 dan 2006-2007 di bawah ini.

;;;;;;

Bahkan untuk mata pelajaran matematika, rata-rata siswa SMA negeri Jakarta yang memperoleh nilai (C-A) persentasenya lebih besar daripada siswa 140 negara partisipan silabus Cambridge IGCSE di seluruh dunia. Hasil IGCSE dan A Level periode 2005-2007 itu cukup memberikan gambaran bahwa siswa-siswa sekolah menengah kita juga mampu menunjukkan prestasi internasional mereka meskipun tanpa harus mengeluarkan anggaran sangat besar seperti pada kegiatan Olimpiade Sains dan Matematika.

Perkembangan SBI sejauh ini dapat dijadikan sebagai indikator akan besarnya minat dan keinginan pengelola pendidikan pada tingkat sekolah dan madrasah untuk melakukan inovasi dan peningkatan kualitas pendidikan. Rasa ingin tahu dan keberanian untuk mencoba mulai tumbuh dengan positif dan menggembirakan. Namun, yang agak sedikit merisaukan dari temuan kami di beberapa daerah, ternyata kecepatan sekolah-sekolah dalam melakukan perubahan (mengadopsi silabus pembelajaran dan penilaian asing) masih belum diimbangi dengan upaya yang sistematis untuk memperkuat dan meningkatkan mutu sumber daya kependidikan (kepala sekolah, guru, dan manajemen), membangun sistem kontrol dan akuntabilitas atas seluruh kegiatan akademis dan administrasi keuangan sekolah. Akibatnya, pertumbuhan SBI yang begitu cepat itu malah menimbulkan masalah, kontraproduksi, dan kehilangan arah (sense of direction). Dengan hilangnya pesan perubahan, yang sebelumnya tecermin dari perubahan manajemen sekolah yang menjadi lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif, program SBI ini diduga hanya akan membawa kecemasan baru pada masyarakat. Masih lemahnya mutu pengelolaan SBI diakui Surya Dharma PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas. Dari 260 kepala sekolah SBI yang diberikan tes kemampuan bahasa Inggris, TOEIC, menurut Surya Dharma, hanya 10% yang memiliki kemampuan memadai, sedangkan sisanya, 90% kemampuannya hanya mencapai skor 245, artinya masih di bawah tingkat dasar (elementary). Data lain, hasil ujian IELTS guru yang akan diproyeksikan dapat mengajar pada kelas rintisan internasional menunjukkan keadaan yang serupa. Dari sekitar 40 peserta, kurang dari 20% yang mampu memperoleh skor IELTS antara 4,0-4,5, sedangkan sisanya hanya memperoleh skor antara 2,5-3,7. Padahal seorang guru diizinkan mengajar program internasional harus memiliki skor minimal 6,5 pada IELTS (atau skor 550 pada TOEFL). Hasil penilaian terhadap kompetensi akademis dan kemampuan pedagogis guru pengajar menunjukkan keadaan hampir sama, memprihatinkan.

Atas dasar itu, Depdiknas diharapkan dapat sedikit menahan dan mengendalikan pertumbuhan sekolah-sekolah SBI. Depdiknas harus berani untuk mulai melakukan refleksi terhadap konsep dan pelaksanaan SBI sejauh ini. Depdiknas (direktorat-direktorat pembina tingkat pusat, pusat kurikulum, pusat penilaian, dan dinas pendidikan) harus dapat duduk bersama untuk merumuskan kembali kebijakan tentang SBI dengan lebih baik dan terukur. Depdiknas harus dapat menyusun roadmap SBI, revisited curriculum framework, mengkaji ulang standar, penilaian, dan evaluasi program yang digunakan selama ini. Agar hasil kajian itu dapat lebih optimal hasilnya, Depdiknas hendaknya dapat juga melibatkan sekolah-sekolah yang tergabung dalam national school plus (NSP) dan institusi pendidikan lainnya yang sudah berpengalaman dan berhasil mengelola program pendidikan internasional (international credentials). Depdiknas harus berusaha melepaskan sikap memiliki (possessive) yang berlebihan dan mulai menumbuhkan kemampuan bekerja sama (collaborative works) dengan lembaga/individu di luar pemerintah (non state agencies) yang mungkin selama ini dipandang sangat kritis terhadap beberapa kebijakan pemerintah.

Upaya peningkatan mutu pendidikan haruslah didukung dengan program pengembangan guru, kepala sekolah, dan manajemen (capacity building), yang dilakukan secara sistematis, terukur, dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh stakeholder pendidikan. Pemahaman terhadap pentingnya pembangunan sumber daya kependidikan (SDK) secara berkelanjutan itu harus ditanamkan pada setiap pengelola dan pelaksana kebijakan pendidikan pusat dan daerah. Selain itu, fungsi dan peranan kepala sekolah harus selalu semakin diefektifkan terutama yang berkaitan dengan manajemen pembelajaran (instructional management) serta monitoring dan evaluasi (monev). Kepala sekolah harus dapat menjadi teladan dan sumber inspirasi bagi guru, siswa, dan manajemen sekolah lainnya. Lebih dari itu, kepala sekolah bersama pemangku pendidikan lainnya harus mampu membangun dan mengembangkan visi bersama sekolah dan mewujudkannya secara bersama pula. Setiap perubahan pasti akan melahirkan tantangan dan harapan baru. Namun, sebagaimana dikemukakan Hoffer pada awal tulisan ini, hanya bagi mereka yang mampu menjaga dan memupuk motivasinya untuk terus belajar (learner) yang akan dapat mewarisi dan mengendalikan masa depan planet yang selalu berubah ini.

Read More...

PERANG GERILYA SI UMAR BAKRI
Oleh : Sulardi , SPd,MM


Kekisruhan dalam ujian nasional belakangan mungkin mencerminkan sikap bangsa yang kerap hipokrit. Di satu sisi, pemerintah ngotot mematok standar kelulusan sebagai cermin peningkatan mutu pendidikan nasional. Saat bersamaan, standar itu dicapai dengan berbagai trik, tipu muslihat, atau lewat ”perang gerilya” yang melibatkan para guru.

Sebanyak 1.500 siswa dan orangtua siswa peserta ujian nasional di SMU Negeri I Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (18/4), mengikuti istighotsah menjelang pelaksanaan ujian nasional.

Maya (nama samaran) tertawa sinis setiap kali mendengar pejabat mengklaim ujian nasional (UN) berlangsung sukses dan angka kelulusan tinggi. Soalnya, dia tahu benar, betapa ”sukses” itu diraih bukan melalui proses belajar-mengajar di sekolah, melainkan lewat ”perang gerilya” yang dilakoni para guru.

Guru sebuah SMA swasta di Jakarta itu mengungkapkan, hampir semua sekolah di rayonnya menyiapkan berbagai strategi ”perang gerilya” untuk memberikan contekan kepada siswa. Tahun ini Maya mengaku masuk dalam ”pasukan gerilya” bersama beberapa guru lain.

Saat hari-hari ujian, dia datang ke sekolah sekitar pukul 04.30. Mirip ”operasi subuh”. Begitu soal datang, ada guru yang bertugas merusak segel dan mengambil beberapa berkas soal untuk dikerjakan bersama-sama. ”Kami hanya punya waktu sekitar 30 menit untuk menyelesaikan soal sebelum pengawas datang,” ujarnya.

Bocoran jawaban itu lantas dibagikan kepada para siswa sebelum memasuki ruang ujian. ”Kadang, bocoran jawaban kami letakkan di WC. Nanti, ada siswa yang akan mengambil jawaban itu dan menyebarkannya kepada teman-temannya,” ujarnya.

Di sekolah lain, kata Maya, ada beberapa siswa terpilih yang dilibatkan dalam ”perang gerilya”. Setelah mendapat bocoran jawaban, dia bertugas mendistribusikannya kepada siswa lainnya.

”Perang gerilya” ini berlangsung sistematis dengan strategi yang matang dan terus diperbarui setiap tahun. Selama ini aman-aman saja. Maklum, sebelum UN, sejumlah sekolah di wilayahnya sudah bersepakat untuk saling tutup mata. ”Pengawas juga sudah tahu sama tahu. Yang penting, operasinya tidak menyolok,” katanya.

Di luar Jakarta, ”perang gerilya” juga terjadi di Sumatera Utara. Namun, entah karena strateginya tidak canggih, operasi itu tercium Detasemen Antiteror 88. Akibatnya, para guru yang terlibat pun digerebek ketika sedang membetulkan lembar jawaban milik siswa.

Berbagai tekanan

Pembocoran jawaban atau berbagai kecurangan lain sebenarnya terjadi hampir secara massal dan bukan dilandasi motif uang. Banyak pihak sadar, perbuatan itu jelas tidak mendidik. Para guru berani berbuat curang lantaran ingin menyelamatkan siswa yang hanya menjadi korban sistem yang bermasalah.

”Kalau tak lulus, mereka tidak dapat ijazah. Padahal, ijazah perlu untuk cari kerja di pabrik,” ujar Maya. Memang, sebagian besar siswa di sekolah itu berasal dari golongan menengah ke bawah yang tidak mampu melanjutkan kuliah.

Di luar pertimbangan itu, pembocoran juga dilakukan untuk mempertahankan prestise sekolah. Semakin banyak siswa gagal ujian, para guru semakin khawatir sekolahnya tak diminati lagi oleh para orangtua. Jika itu terjadi, sekolah bisa ditutup dan guru kehilangan kerja.

Terakhir, kecurangan itu dilakukan demi menyelamatkan muka pejabat. Sudah jadi rahasia umum, menteri, gubernur, bupati, wali kota, sampai kepala dinas pendidikan di kabupaten/kota mematok target kelulusan UN yang tinggi. Para pejabat di bawahnya semakin rajin menekan sekolah agar mencapai target itu, bagaimanapun caranya.

Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengatakan, saat ini guru benar-benar tertekan. Banyak orangtua yang tidak mau tahu, anaknya harus lulus karena merasa telah keluar banyak uang. Begitulah, Si Umar Bakri yang sudah tertekan oleh gaji yang minim, semakin terbebani oleh pejabat dan sistem. ”Alhamdulillah, hingga kini tidak ada guru yang bunuh diri karena UN,” ujar Iwan.

Dia mengatakan, ”perang gerilya” yang dilakukan para guru sebenarnya adalah bentuk perlawanan paling sederhana terhadap sistem.

Cobaan berat

Sekolah umumnya sadar, persiapan agar lulus UN memang tak cukup hanya mengandalkan belajar biasa. Soal-soal ujian kerap terlalu sulit untuk dikerjakan siswa biasa. Karena itu, para siswa didorong untuk menjalani berbagai macam pelajaran tambahan: try out (TO), bimbingan belajar (bimbel), simulasi ujian, sampai pendalaman materi (PM).

Dewi Fitri (15), siswa SMPN di Bandung, misalnya, mengaku menghabiskan 20 jam sehari untuk berlatih mengerjakan soal. Mulai pukul 07.00 sampai 17.30, dia suntuk belajar dan mengikuti pemantapan materi di sekolah. Sore hingga malam, dia masih belajar lagi.

Setelah bangun pukul 03.00 pun, dia meneruskan belajar. Di luar itu, dia ikut les bimbingan belajar. Di sana, dia mengunyah-ngunyah rumus menjawab soal atau jurus tebak jawaban. Pokoknya capek deh!

Belum yakin dengan berbagai persiapan ujian secara rasional, banyak sekolah yang akhirnya mendorong siswa untuk menempuh jalan spiritual. Tujuannya, menggembleng mental siswa agar lebih tenang. Maka, kini banyak sekolah yang punya tren baru, yaitu menyelenggarakan istighotsah, kegiatan doa bersama yang biasa dijalani umat Islam untuk meminta pertolongan Tuhan dari cobaan yang berat.

Tren ini dijalani hampir di semua sekolah, mulai dari sekolah pinggiran sampai sekolah unggulan seperti SMAN 31 Jakarta. Sekolah ini menggelar istighotsah satu minggu sebelum ujian. Sebanyak 435 siswa dan sejumlah guru sekolah unggulan ini menginap di sekolah.

Dini hari, mereka dibangunkan dan diajak mengerjakan shalat tahajud, zikir, muhasabah (introspeksi diri), shalat taubat (mohon ampun kepada Tuhan), dan berdoa bersama. ”Banyak siswa yang mencium kaki orangtuanya setiba di rumah (untuk minta ampun),” kata Humas SMAN 31, Saur Hurabarat.

Istighotsah juga dilakukan di SMK Jakarta Pusat I. Begitu pula sejumlah sekolah di Bandung, seperti SMAN 9 dan SMPN 53. Lewat laku spiritual ini, diharapkan siswa lebih siap mental untuk menghadapi soal-soal ujian yang sulit sekalipun. Tentu, mereka juga berharap Tuhan berkenan melempangkan jalan agar siswa lulus ujian.

Bukannya tak menghargai istighotsah. Tetapi, fenomena ini menunjukkan, betapa sakralitas pendidikan telah bergeser dari krida untuk menggembleng ilmu pengetahuan ke wilayah spiritual. ”Menghadapi UN hampir tidak ada bedanya dengan menghadapi bencana. Siswa begitu putus asa sampai-sampai harus ber-istighotsah,” kata Iwan Hermawan.

UN baru saja dilalui. Setelah hari-hari yang berat itu, kini para siswa dan guru sedang ”deg-degan” menunggu hasil ujian yang bakal diumumkan pada pertengahan Juni nanti. ”Sekarang kami serahkan semuanya kepada kehendak Tuhan,” kata T Iskandar, guru agama SMK Jakpus I, dengan mimik penuh permohonan. (Yulvianus Harjono/ Yenti Aprianti)

Read More...

MENGGAGAS LEARN HOW TO LEARN
Oleh : Sulardi , SPd,MM

Suatu hari seorang alumnus yang kini menempuh pendidikan tinggi di salah satu universitas ternama di Vancouver, Kanada, datang berkunjung. Dia bercerita banyak tentang apa yang dialaminya serta beberapa alumnus sekolah kami di sana. Dengan bangga ia bercerita bahwa di semester pertama rata-rata mahasiswa asal Indonesia meraih indeks prestasi akademik yang sangat baik. Jauh lebih baik daripada mahasiswa asal Kanada sendiri.

Namun, setelah menempuh semester kedua atau ketiga, indeks prestasi mereka rata-rata jeblok dan sebagian besar memiliki masalah akademik di perkuliahannya. Saya tertarik dengan fenomena itu dan bertanya, menurut dia, apa yang menyebabkan kondisi itu terjadi.

Dengan gamblang ia menuturkan bahwa di semester pertama perkuliahan berjalan mirip dengan situasi belajar mengajar di Indonesia. Banyak teori-teori dasar yang harus dihafalkan, dan ini sangat dikuasai mahasiswa Indonesia. Mereka sangat kuat dalam menghafal. Sehingga tidak aneh ketika ujian mereka menguasai materi perkuliahan dengan sangat baik.

Namun, ketika di semester kedua, perkuliahan menjurus pada kegiatan-kegiatan problem solving dan berpikir kritis dalam menghadapi situasi kehidupan nyata. Di sinilah, menurutnya, mahasiswa sebagian besar tidak siap. Mereka tidak terbiasa untuk melihat dan mencari alternatif selain dari yang ia hafal.

Ketika diminta berpikir di luar kerangka teori, mereka kebanyakan mati kutu. Belum lagi, kendala bahasa Inggris yang digunakan dalam perkuliahan semakin rumit dan menuntut lebih dari sekedar mampu bercakap-cakap. Intinya, menurut alumni kami ini, mahasiswa Indonesia lemah berpikir.

Kondisi hampir serupa juga terjadi beberapa tahun yang lalu dengan para siswa kami yang mengikuti program beasiswa studi lanjut dari sebuah institusi terkenal di Singapura. Para siswa ini adalah kaum terpilih karena mereka diseleksi secara akademik oleh tim guru di sekolah kami. Namun, sebagian besar ternyata gagal.

Berdasarkan analisis tim guru pemberi beasiswa institusi Singapura tersebut, 90 persen kegagalan disebabkan para siswa tidak mampu mengerjakan soal-soal problem solving dan logika (bukan matematika). Ternyata anak-anak kami lemah dalam menghadapi soal-soal yang membutuhkan ketrampilan berpikir dan mencari alternatif pemecahan masalah.

Kedua cerita di atas adalah gambaran bahwa secara umum proses belajar mengajar yang terjadi di sekolah kita masih berkutat dan menekankan diri pada penguasaan materi (content mastery), bukan penguasaan konsep (conceptual mastery). Anak-anak kita juga jarang, bahkan mungkin tidak pernah, diajak dan dibiasakan dengan pola berpikir tingkat tinggi (high order thinking).

Dan yang lebih parah, kita sebagai pendidik secara sengaja maupun tidak sengaja, mungkin tidak pernah menanamkan learn how to learn (belajar untuk mempelajari sesuatu). Karena itu wajar bila anak-anak kita tidak berdaya ketika diminta berpikir dan bukan menjawab soal. Reduksi konsep learning (belajar) menjadi penguasaan materi (content mastery) sungguh mencemaskan.

Learn How to Learn memayungi sejumlah besar konsekuensi ketrampilan berpikir anak. Anak yang tahu cara belajar akan tahu apa yang harus dilakukan ketika sebuah fenomena menimbulkan pertanyaan. Kala seorang bertanya, "Di manakah Surabaya?", anak yang tahu cara belajar akan memikirkan beberapa alternatif pemecahan di mana ia harus mencari jawabannya. Di peta? Di internet? Bertanya pada ayah? Guru? Dan sebagainya dan sebagainya.

Ia tak akan beku dalam kebingungan. Ia tahu bagaimana harus mencari jawaban. Walaupun ia sendiri belum tahu jawabannya. Coba Anda bayangkan bila ketrampilan semacam ini dibawa si anak sampai ia menjadi seorang dewasa dan berkecimpung dalam kehidupannya yang sarat masalah, akan sangat luar biasa, bukan?

Learn How to Learn juga mendidik anak untuk tahu bahwa pengetahuan (knowledge) bisa didapatkan dengan berbagai cara (ways of knowing). Agar tahu cara bersepeda tidak bisa diraih dengan membaca buku cara bersepeda, tapi dengan melakukannya atau berlatih bersepeda. Agar tahu nama gadis cantik di sebelah rumah tidak bisa diraih dengan browsing di internet, tapi cukup dengan bertanya langsung kepada yang bersangkutan.

Agar tahu mengapa terjadi gerhana bulan tidak bisa diraih dengan melihat bulan setiap malam, tapi bisa dengan membaca buku tentang tatasurya, browsing di internet, bertanya pada guru fisika, dan sebagainya. Intinya, anak tahu bahwa untuk tahu bisa dilakukan dengan berbagai cara namun masih dalam konteks yang sama, yaitu belajar (to learn). Pertanyaannya adalah, bagaimana menanamkan Learn How to Learn ini dalam proses belajar mengajar keseharian?

Pertama, mengurangi dorongan untuk berusaha memberi informasi atau berbicara terlalu banyak di kelas. Secara tradisional, guru memang banyak berbicara untuk menjelaskan sesuatu. Secara alamiah, kita sebagai guru akan menggunakan pendekatan verbal untuk menyampaikan informasi yang menurut kita tidak diketahui siswa. Pendekatan ini ternyata tidak efektif. Orang hanya menyerap 10 persen saja ketika mendengar sesuatu. Bahkan, penggunaan bahasa verbal secara masif cepat menimbulkan kebosanan. Apalagi siswa secara umum hanya punya rentang konsentrasi maksimal 15-17 menit dalam konteks verbal.

Tidak heran banyak masalah timbul di kelas yang banyak didominasi pendekatan verbal. Anak yang bosan cenderung mencari hal-hal lain yang menarik untuknya. Sangat alamiah, namun sering tidak kita pahami sebagai guru.

Seperti saya utarakan di atas, orang mendapatkan informasi atau pengetahuan dengan berbagai cara (ways of knowing). Karena itu, siswa bisa mencari penjelasan dengan berbagai cara pula. Penjelasan verbal bukan satu-satunya. Oleh karena itu guru bisa melakukan guided inquiry (pencaritahuan mandiri terarah). Siswa akan mencari sendiri informasi yang ia perlukan untuk mengetahui sesuatu atau menjawab suatu permasalahan dengan sejumlah sumber informasi variatif yang sudah dipersiapkan guru sebelumnya.

Bagi sekolah tanpa akses internet yang baik dan perpustakaan yang memadai, sang guru harus lebih rajin melakukan kliping berita atau sumber baca apapun sebagai sumber informasi. Atau, pergunakan orang-orang kompeten di daerah sekitar sebagai narasumber. Undang mereka ke kelas untuk berinteraksi dengan siswa, atau ajak siswa keluar dan berinteraksi dengannya di area kerjanya.

Variasi pencarian sumber di dalam sekolah dan di luar sekolah (outdoor) akan menumbuhkan motivasi siswa. Bagi sekolah dengan akses internet dan perpustakaan memadai, tentu lebih mudah. Yang perlu diperhatikan adalah sering meng-update bahan-bahan baca dan CD ROM audio video yang ada.

Penggunaan narasumber langsung di atas juga dianjurkan untuk sering dilakukan. Bila ada peluang siswa mencoba melakukan yang dilakukan narasumber sehari-hari, lakukanlah. Selain pencarian informasi, yang paling penting dari semua proses belajar mengajar adalah setiap anak mengalami pengalaman belajar yang bermakna secara individu. Pengalaman belajar inilah yang sering hilang dari pembelajaran di kelas kita dewasa ini, sehingga anak tidak betah di sekolah.

Kedua, ajarkan anak untuk gemar bertanya. Karena bertanya bukan budaya kita selama ini, maka pancing anak untuk bertanya dengan memberikan ilustrasi yang menarik, maksimalkan pendekatan visual; untuk sekolah yang memiliki fasilitas multimedia yang memadai bisa digunakan powerpoint, flash dan semacamnya. Ajarkan pada kerangka bertanya 5W 1H (What, Where, When, Why, Who dan How). Sering-seringlah memancing keingintahuan anak terhadap suatu fenomena aktual. Keingintahuan adalah akar dari sikap suka bertanya.

Ketiga, maksimalkan Bloom’s Taxonomy. Level berpikir Bloom’s Taxonomy sangat dikenal dalam ilmu pedagogi. Namun dalam implementasi kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Seandainya masing-masing guru mata pelajaran mau mengadaptasi bagaimana setiap jenjang Bloom’s Taxonomy bisa terwujud dalam kegiatan belajar mengajarnya, tentu para siswanya akan terbiasa dengan berpikir kritis dan problem solving.

Bukan hanya dalam pembelajaran, Bloom’s Taxonomy mestinya juga banyak diaplikasikan dalam penilaian belajar siswa, untuk mengetahui seberapa kritis cara berpikir siswa setelah mengalami pengalaman belajar selama beberapa waktu.

Terakhir, tanamkan kebiasaan membaca. Membaca adalah kegiatan berpikir aktif. Ketika membaca, siswa akan secara mental berusaha membentuk makna dari yang ia baca. Makna inilah pengetahuan. Karena itu ajarkan anak ketrampilan membaca yang segera memberi mereka makna atas sesuatu, misalnya speed reading. Bimbing mereka agar membaca secara efisien, misalnya dengan ketrampilan menggali inti sebuah alinea.(*)

Read More...

BKK dan Perannya bagi SMK
Oleh : Sulardi , S.Pd.MM
Guru Bahasa Inggris di SMK Penerbangan Sedati


Lulus SMA/SMK merupakan proses pendewasaan yang mengarah pada pembebanan tanggung jawab anak didik yang semakin besar dan luas. Sekilas memang menyenangkan dan membanggakan sekaligus memberikan kesempatan lulusan untuk memilih jalan hidup selanjutnya. Apakah dia akan meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi, mengambil kursus, mencari pekerjaan, atau membantu orang tua di rumah.

Meneruskan sekolah ke yang lebih tinggi memerlukan pengorbanan yang cukup besar. Selain dukungan finansial, diperlukan kesiapan mental dan akademik yang memadai. Begitu pula, mereka yang ingin mencari pekerjaan tidak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan kemampuan untuk mengakses peluang kerja.

Memang, untuk membantu para alumnus agar tidak kebingungan dalam menentukan pilihan, sekolah bersama Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk serta lembaga penyedia tenaga kerja telah membentuk unit kerja sekolah bernama BKK (bursa kerja khusus). Bursa itu ditangani tim khusus untuk memberikan bimbingan karir sebelum lulus dan pasca kelulusan.

Bentuk bimbingan yang diberikan berupa penyuluhan strategi memasuki dunia kerja dan efektivitas melamar pekerjaan. Selain itu, penanaman jiwa entrepreneur dan standar etos kerja yang efektif.

Bagi SMK yang didirikan untuk mencetak out put lebih siap bekerja bila dibandingkan dengan lulusan SMA, BKK merupakan unit kerja sekolah yang mempunyai potensi besar dalam memasarkan para lulusan. Salah satu indikator kesuksesan sebuah SMK bukan hanya berdasar perolehan DANEM tinggi dengan tingkat kelulusan tinggi, namun juga ditentukan seberapa besar lulusan dapat terserap dunia kerja yang relevan. Bursa kerja khusus di sekolah sangat membantu para lulusan untuk mendapatkan pekerjaan. Jadi, selain mempunyai nilai manfaat bagi lulusan, BKK mempunyai nilai ekonomis bagi sekolah.

Aktivitas BKK akan memberikan kontribusi positif kepada para alumnus bila terjalin hubungan sinergi antara BKK, alumni, Dinas Tenaga Kerja, dan lembaga penyedia tenaga kerja. Karena itu, BKK di sekolah dibentuk dengan tujuan memberikan pelayanan kepada para alumnus. Dalam operasionalnya, BKK semestinya mempunyai visi untuk mewujudkan para alumnus bisa bekerja secara profesional dan mandiri sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Untuk merealisasikan visi itu, diperlukan tindakan aplikatif dan terpadu yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah masing-masing.

Misalnya, BKK memberikan bimbingan karir siswa kelas tiga untuk kesiapan memasuki dunia kerja, memberikan informasi peluang kerja, menyediakan kartu pencari kerja (kartu kuning), menyalurkan dan menempatkan lulusan ke dunia kerja, membuka link and match dengan lembaga pengguna tamatan, serta membina kerja sama dengan lembaga pelatihan untuk meningkatkan kompetensi siswa.

Tindakan preventif yang sama perlu dibangun alumnus agar kemudahan mendapatkan pekerjaan selalu mengiringi langkahnya. Tindakan yang dimaksud dapat dilakukan dengan berbagai alternatif. Misalnya, mengomunikasikan dengan pihak-pihak yang memberikan info peluang kerja, mengunjungi lembaga penyedia lapangan kerja seperti kantor Disnaker, BLK, PJTKI, atau balai pelayanan penempatan TKI. Alumnus bisa mencari informasi lowongan pekerjaan di media massa, browsing di internet, atau membuat penawaran kerja di media cetak dan elektronik.

Tindakan preventif akan mempunyai nilai lebih bila yang bersangkutan mampu mengeksploitasi potensi diri (kemampuan mental, intelektual, spiritual, sosial, dan vocational). Modal tersebut dapat diwujudkan melalui pelatihan eksternal dengan mengikuti kursus-kursus sesuai bidang yang hendak dikembangkan, penggalian potensi diri dengan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi melalui berbagai literatur dan media, serta becermin atas keberhasilan dan pengalaman orang lain. Alumnus juga perlu bersosialisasi dan berinteraksi dengan semua pihak yang dapat menambah nilai positif dalam pengembangan dirinya.

Mereka yang mempunyai kemauan dan kemampuan tinggi serta berjuang secara maksimal akan mendapatkan kesempatan lebih awal. Untuk itu, perlu dibangun 3S. Yakni self pride (rasa bangga terhadap diri sendiri), self esteem (rasa peduli terhadap situasi dan kondisi) dan self confidence (rasa percaya diri dalam mengembangkan potensi diri).

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa sesungguhnya peluang kerja sangat terbentang luas, namun kesiapan sumber daya manusianya belum bisa diharapkan. Selain itu, lingkungan kurang mendukung sehingga yang terjadi hanyalah keluhan-keluhan tanpa ada solusi yang jelas. Kondisi tersebut akan menjadi bumerang pada para pencari kerja. Kegagalan pun segera terjadi. Itu disebabkan ketidaksiapan pencari kerja dalam menerima tawaran kerja. Selain itu, kurangnya jiwa kompetisi lulusan dalam mencari pekerjaan, terlalu pasif dalam menelisik informasi peluang kerja, tidak tahan uji dalam menghadapi ujian, serta lemahnya etos kerja mereka.

Untuk meminimalkan permasalahan yang muncul di lapangan, diperlukan kerja sama yang sinergis semua pihak. Terutama, para guru sebagai mediator transfer ilmu untuk mengondisikan agar proses pendidikan yang dilakukan mampu memberi warna pada kualitas lulusan. Lingkungan keluarga juga perlu memberikan dukungan moral maupun material.

Penanaman filosofi etos kerja juga perlu ditanamkan sejak dini bahwa orang bersekolah dengan harapan untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, semakin tinggi harapan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Meski demikian, tingginya taraf pendidikan bukan jaminan seseorang akan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan harapan. Begitu pula sebaliknya, rendahnya pendidikan bukan merupakan indikator mutlak terhadap ketidakberhasilan seseorang. (*)

Read More...

Memotivasi Berbicara Bahasa Inggris
Oleh : Sulardi, SPd,MM

PENDIDIKAN di Indonesia dikeluhkan masyarakat karena kalah dengan Malaysia atau Singapura, terutama dalam bidang bahasa Inggris. Meski siswa belajar bahasa Inggris sejak kelas satu sampai kelas 12, hanya sekitar 30 persen yang dapat dan mau berbicara bahasa Inggris. Alasannya what for? Toh, tanpa berbahasa Inggris pun bisa masuk ke supermarket besar ataupun ke tempat hiburan elite.

Malah, ada yang bilang terlalu sok. Bayarannya tidak bisa untuk membeli keju dan daging selama setengah bulan saja pakai speak English segala. Ini sih gurauan guru. Tapi, kalau siswa disuruh berbicara bahasa Inggris, lain lagi keluhannya. Alah Mam kalau outside the English class katanya show off alias pamer begitu.

Hal-hal inilah yang membuat seseorang tidak mempunyai motivasi untuk belajar dan berbicara bahasa Inggris. Saya sebagai pengajar bahasa Inggris di SMP YPPI-1 yang telah mengajar hampir 18 tahun ingin berbagi tip yang mungkin bisa menumbuhkan motivasi siswa untuk berbicara bahasa Inggris.

Yang pertama, ajarilah anak kalimat-kalimat bertanya, memerintah, meminta sesuatu, berterima kasih, dan segala kalimat yang berhubungan dengan daily needs mereka dalam bahasa Inggris. Tapi, tentu mereka harus mempraktikkannnya bersama teman ataupun guru.

Alangkah indahnya bila di sekolah ada satu hari "English Day" saat guru dan siswa harus berbahasa Inggris. Bila ketahuan berbicara bahasa lain, mereka didenda. Ya, memang kalau tidak ada sedikit paksaan, mereka tidak akan menggunakannya. Dengan demikian, mereka akan cepat lupa bila tidak dibuat seperti habit. Sebab, English is not our second language. Padahal, language is a habit yang harus digunakan setiap hari sehingga bisa diingat. Seperti anak balita, walaupun dia tidak bisa menulis, bila dia mendengar dan mengucapkannya setiap hari, dia akan dapat berbicara.

Saya salut dengan seorang teman pria saya yang begitu telaten mengajarkan bahasa Inggris di SD kelas satu. Dia begitu sabar memerintah dalam bahasa Inggris dengan gestures (gerakan-gerakan tubuh) berulang-ulang bila anak tidak mengerti. Dia tidak mau menggunakan bahasa Indonesia. Pada waktu itu saya lewat dan memujanya, "I like the way you teach the small kids. It is good You say: "Take it" and when no one understands, you repeat it by showing how to do it."

Jangan menertawakan murid kita bila mereka salah, tetapi benarkan dengan mengulanginya. Misalnya: Bila dia berkata, "Mam I see you yesterday. Kita tahu seharusnya memakai "saw", maka kita ulang, "You mean you saw me yesterday."

Let them learn through mistakes. Practice makes perfect. Don’t mock them. Sekali anak merasa diremehkan dan malu, dia tidak punya self confidence untuk berbicara.

Kita tidak usah munafik. Kadang-kadang English teacher sering membuat kesalahan mengatakan he padahal yang dimaksud she. Kasus lain mengatakan his, padahal yang dimaksud adalah her. Why? Karena dalam bahasa Indonesia kita tidak mengenal perbedaan dia untuk laki-laki ataupun dia perempuan.

Pernah saya berbicara dengan seorang gadis yang mengaku menghabiskan sekitar Rp 100 juta untuk belajar bahasa Inggris di Australia dalam setengah tahun setelah lulus SMA. Saya pikir wah ini pasti sudah hebat. Ternyata, waktu dia bilang I don’t like it too, saya baru sadar so it is useless although one has spent a lot of money to study overseas masih juga membuat kesalahan. Mungkin, karena dia lama tidak menggunakan bahasa itu. Lalu, saya tanya apakah tidak harus mengubah too menjadi either?

Dia bilang asal orang tahu maksudnya. Tidak usah too perfect. Saya sih pura-pura percaya saja karena belum pernah ke negara Kanguru. Maka, kesimpulannya, orang yang sudah belajar overseas pun bisa membuat kesalahan, apalagi murid SMP. Kita bisa menceritakan hal seperti ini untuk menumbuhkan courage mereka dulu, baru pelan-pelan membenahi kesalahan.

Yang kedua, ajarkan kepada para siswa Four Parts Of Speech pada saat mereka duduk di kelas 5 SD, karena pada saat itu mereka sudah tahu penggunaan kata sifat dan kata kerja Simple Present Tense. Tentu saja vocab yang diberikan sesuai kebutuhan siswa. Misalnya, kata happy kan sering digunakan. Terangkan itu berfungsi sebagai adjective. Jadi penggunaannya harus ada to be di depannya dengan contoh dan penggunaan pictures.

Lalu berikan kata happiness yang mempunyai fungsi sebagai kata benda. Pada saat itu pasti siswa bertanya kenapa kata benda tidak kelihatan, maka harus dijelaskan ada dua macam kata benda, yaitu abstrak dan konkret, dst.

Pengajaran tentang Four Parts Of Speech harus berkelanjutan. Jadi, bila anak mengenal suatu kata baru, mereka harus tahu apa itu function as noun, adjective, verb or adverb. Banyak sekali kesalahan yang dibuat karena siswa tidak tahu function of word.

Murid sering mengatakan I study with hard, karena dia terpengaruh dengan terjemahan saya belajar dengan keras. Padahal, kata hard yang adalah adverb sudah berarti dengan keras. Begitu juga I very like it yang seharusnya I like it very much.

Yang ketiga, tekankan pengajaran pada tenses yang sering dipakai seperti Simple Present Tense, Present Continuous Tense, Past Tense, Future Tense, Present Perfect Tense. Memang semua tense nanti diajarkan sesuai jenjang, tetapi untuk speaking, tekankan penggunaan tenses di atas karena itu paling sering digunakan untuk komunikasi.

Tentu banyak teknik yang bisa dipakai. Seperti anak disuruh berdialog dengan temannya atau bercerita tentang liburannya, rencana untuk liburan sesuai topik-topik menarik yang dipilih. Dengan demikian, tanpa sadar mereka yang terus berbicara sedangkan kita yang banyak bertanya. Selain itu, kita dapat mengajarkan tenses melalui lagu. Misalnya, setelah mengajarkan Simple Present Tense dan memberi latihan kepada para siswa, lalu kita berikan lagu: My Bonnie yang syairnya mengandung kalimat-kalimat Simple Present Tense.

My Bonnie lies over the ocean
My Bonnie lies over the sea
My Bonnie lies over the ocean
Oh bring back my Bonnie to me
Bring back bring back
Oh bring back my Bonnie to me

Tekankan pada siswa ini my Bonnie kan tunggal. Jadi kata kerjanya + S/ES. Contoh lagu lain yang bisa dipakai adalah Quo Sera Sera setelah mengajarkan Simple Past Tense, karena di dalamnya terkandung kalimat Past.

Singing membuat suasana tidak jenuh dan easy songs anak-anak gampang menyanyikannya. Jadi, bila mereka salah, ingatkan dengan lagu.

Yang terakhir, mungkin ini lepas dari tip, tetapi masih berhubungan dengan pemotivasian siswa. Saya dari dulu punya mimpi mempunyai supermarket yang menjual barang kebutuhan hidup lebih murah harganya dibanding supermarket lain. Hanya, para pembeli harus berbahasa Inggris bila berada di dalamnya.

Ya, siapa tahu ada negara yang mau menyuplai barangnya, karena mengajarkan bahasanya atau pemerintah ikut membantu karena ini start yang baik menuju English As A Second Language. (*)

Read More...

Mengajar dengan Bahasa Cinta
Oleh : Sulardi S.Pd
Guru Bahasa Inggris di SMK Penerbangan Sedati


"Tuhan kirimkanlah aku… guru yang baik hati yang mencintai aku apa adanya." Itulah sepenggal pelesetan lagu Dewa syarat makna dan merupakan ungkapan seorang siswa yang sedang merana dalam belajarnya.

Berdasarkan hasil survei kecil-kecilan kepada teman-teman guru di sekolah kami, ternyata 9 di antara 10 guru pernah mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan ketika mereka masih duduk di bangku SD, SMP, atau SMA sekitar 20 hingga 30 tahun yang lalu. Ingatan mereka, termasuk penulis, masih segar ketika mendapat hukuman spontan dari guru karena divonis melakukan suatu kesalahan. Misalnya, mengganggu teman, berbicara atau bermain ketika guru sedang menerangkan, tidak mengerjakan PR, tidak bisa menjawab soal dengan benar, dan nyontek ketika ulangan.

Berbagai macam hukuman pun segera kami terima, disuruh berdiri di depan kelas, dijewer bergiliran oleh teman sekelas, dijemur, dan membersihkan kamar mandi. Bahkan, penulis pernah dimasukkan ke dalam lemari cukup lama, baru dibuka setelah menangis keras.

Hukuman itu juga dibumbui dengan kata-kata pedas yang melukai hati, misalnya: "Dasar anak nakal, kerjanya mengganggu teman terus!", "Dasar bodoh, diterangkan berulang-ulang masih saja tidak bisa!", "Anak malas kamu, masak PR 10 soal saja tidak selesai!", "Yang bekerja tangan, bukan mulut!", dan sebagainya. Kalimat-kalimat seperti itu sering meluncur dari bibir guru dengan ekspresi seperti tokoh antagonis dalam sinetron. Interaksi pembelajaran demikian sebenarnya adalah pelajaran mendalam tentang kebencian dan dendam.

Dengan hukuman dan lontaran kata-kata seperti itu, seorang guru mengharapkan siswanya akan menjadi lebih baik, tetapi yang terjadi adalah kebalikannya karena sesungguhnya itu adalah kata-kata yang menjatuhkan mental atau motivasi belajar anak. Hasil yang didapatkan dari kata-kata itu adalah "kejatuhan mental" anak, bukan "kebangkitan mental" anak. Akibatnya, hubungan antara guru dan siswa menjadi kaku dan suasana belajar pun tidak menyenangkan.

Sebaik apa pun metode pembelajaran yang diterapkan seorang guru, semuanya akan tetap menjadi sia-sia apabila guru tersebut lupa cara membangun hubungan yang baik dengan para siswanya. Menurut DePorter (2007:25), satu hal yang dapat menarik minat siswa untuk belajar adalah guru membangun hubungan dengan siswanya sebagai manusia yang memiliki rasa cinta. Oleh karena itu, bahasa cinta adalah salah satu kunci sukses bagi semua guru untuk membangun sebuah hubungan yang indah dengan siswa agar tercipta suasana belajar yang menyenangkan.

Memakai perkataan yang baik untuk membangun adalah suatu hal yang jauh lebih bijaksana daripada memakai perkataan yang kotor. Maxwell (1999:35) berpendapat bahwa seseorang dapat membangun sebuah hubungan yang indah dengan orang lain apabila dia sanggup mengatakan:


1. Enam kata terpenting: Saya mengakui telah melakukan kesalahan besar.

Sosok seorang guru adalah sosok yang dikagumi dan dihormati. Hal ini terkadang membuat sang guru merasa seperti "diagungkan" sehingga akan menjadi sangat memalukan baginya untuk mengakui kesalahan yang mungkin telah dia perbuat kepada para siswanya. Salah satu alasannya adalah karena takut kehilangan wibawa. Sesungguhnya, mengakui kesalahan adalah lebih baik daripada menutupi kesalahan karena wibawa seorang guru akan terlihat dari apa yang telah dia lakukan. Sikap mengakui kesalahan dan mau minta maaf menunjukkan kebersihan hati seseorang.


2. Lima kata terpenting: Anda melakukan pekerjaan dengan baik.

Memuji siswa atas keberhasilan yang telah dicapai atau memuji atas tiap usaha yang telah dia lakukan dalam pembelajaran ternyata mampu membantu meningkatkan motivasi belajar. Dengan memberikan pujian, berarti seorang guru sedang menumbuhkan kepercayaan diri pada siswanya sehingga siswa tersebut dapat mendorong dirinya sendiri untuk dapat lebih maju dalam meraih kesuksesan belajar. Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama perlu dihargai.


3. Empat kata terpenting: Bagaimana menurut pendapat Anda?

Bertanya tentang pendapat siswa adalah sebuah hal luar biasa yang sebaiknya dilakukan oleh guru. Dengan bertanya demikian, seorang guru memosisikan diri menjadi seorang teman yang membutuhkan pendapat dan hal ini akan membuat siswa belajar untuk saling menghargai.


4. Tiga kata terpenting: Jika Anda berkenan...

Menanyakan dan memberikan pilihan-pilihan kepada siswa sehubungan dengan proses pembelajaran akan membuat siswa berlatih untuk mengambil keputusannya sendiri tanpa ada unsur pemaksaan. Siswa terdidik untuk terus berpikir kreatif dalam mencari pemecahan suatu masalah.


5. Dua kata terpenting: Terima kasih.

Kata-kata "terima kasih" adalah sebuah ungkapan yang bermakna luas. Ketika seorang siswa mampu mengatakan terima kasih baik kepada teman atau gurunya, berarti dia memiliki kepekaan bahwa apa yang telah berhasil dia dapatkan adalah bukan karena kehebatannya sendiri, melainkan ada orang lain yang turut membantu. Dari sinilah siswa dapat belajar untuk menyadari bahwa bekerja sama merupakan hal yang sangat baik untuk dilakukan.


6. Satu kata terpenting: Kita.

Kata "kita" menjadi sangat penting ketika guru mengajak siswanya untuk masuk dalam proses belajar-mengajar. Kata "kita" mengandung makna kesatuan dan kebersamaan. Dalam hal ini, kesatuan dan kebersamaan mutlak diperlukan untuk mencapai sebuah tujuan belajar. "Bawalah dunia siswa ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia siswa (quantum learning). Semakin jauh Anda memasuki dunia siswa, semakin jauh pengaruh yang dapat Anda berikan kepada mereka." (Degeng, 2006).


7. Satu kata paling tidak penting: Saya

Kata "saya" menjadi tidak penting di sini karena kata "saya" menunjukkan ego yang berkonotasi negatif. Pengagungan terhadap kemampuan diri sendiri dan tidak memedulikan orang lain menyebabkan anak memiliki pola pikir yang mengarah pada kepentingan diri sendiri. Dia akan mencontoh sikap egois yang ditunjukkan sang guru.


8. Satu kata terburuk: Jangan! Dilarang! Awas! Harus!

Kata-kata seperti ini sangat sering dikatakan oleh guru terhadap siswanya. Segala sesuatu yang dikerjakan oleh siswa harus sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh guru. Tidak ada tempat untuk mengembangkan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran.


9. Satu kata terindah: Silakan..

Setiap orang mendambakan untuk dapat melakukan hal-hal yang sesuai dengan apa yang dirindukan. Ketika siswa menyatakan kepada guru tentang kerinduannya menyampaikan suatu keinginan atau melakukan suatu kegiatan, satu-satunya kata yang diharapkan didengar adalah kata "silakan".

Sebagai makhluk sosial, manusia merupakan indvidu yang memerlukan manusia lain untuk dapat hidup di dunia. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah setiap individu memahami dan menguasai hukum yang berlaku antarmanusia. Sepuluh hukum hubungan antarmanusia menurut Maxwell (1999:6: 1) berbicara kepada orang lain, 2) tersenyum kepada orang lain, 3) memanggil orang lain dengan namanya, 4) bersahabat dan suka menolong, 5) menjadi orang yang ramah, 6) menunjukkan ketertarikan yang tulus pada orang lain, 7) mudah memuji, 8) tenggang rasa terhadap orang lain, 9) terbuka, dan 10) siap memberikan pelayanan.

Jika guru telah sanggup menjalankan 10 hukum tersebut, akan terciptalah hubungan yang harmonis sehingga pembelajaran akan menjadi menyenangkan karena baik guru maupun siswa sejahtera. Bahasa cinta bukanlah bahasa yang sulit diaplikasikan. Jika telah ada niat baik ketika berbicara, maka setiap individu pasti sanggup memilih dan menggunakan kata-kata yang sedap didengar.

Apabila seorang guru telah mampu berkata-kata dalam bahasa cinta kepada siswanya dan begitu juga sebaliknya, maka akan terjalin hubungan yang harmonis antara guru dan siswa. Hal inilah yang akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Belajar bukan lagi sebuah hal yang membebani dan menakutkan, tetapi belajar adalah sesuatu yang menyenangkan, bebas, santai, penuh ketakjuban, dan menggairahkan.

Dengan bahasa cinta, hubungan yang kaku dan monoton antara guru dan siswa sudah saatnya diubah menjadi sebuah hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang sehingga tidak ada lagi kata-kata kotor yang muncul. Sebagai gantinya, muncul kata-kata terpuji yang bersumber dari kebersihan hati seorang guru untuk menumbuhkan pribadi-pribadi unggul. (*)

Read More...

Pembelajaran Berbasis TIK



Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Secara jujur harus diakui, proses pembelajaran yang didesain oleh guru saat ini masih mengebiri potensi siswa didik. Alih-alih berlangsung interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, proses pembelajaran pun tak jarang berlangsung monoton dan membosankan.

Yang lebih memprihatinkan, masih muncul opini di kalangan sebagian besar guru bahwa pembelajaran dikatakan berhasil apabila suasana kelas berlangsung diam alias bisu dan siswa patuh dengan komando. Suasana kelas pun seringkali berubah mirip ruang karantina untuk “mencuci otak” siswa didik. Pembelajaran jauh dari dialog, bercurah pikir, apalagi dialog interaktif. Siswa yang kritis dan sering bertanya justru sering diberi stigma sebagai siswa “ngeyelan” dan cerewet. Siswa ber-”talenta” semacam itu tak jarang memancing adrenalin emosi guru yang tidak siap menjawab pertanyaan siswa. Dengan otoritas yang dimilikinya, guru bak sipir penjara yang tengah mengawasi perilaku narapidana (tengok di sini, di sini, dan di sini).

Kedua, dunia persekolahan kita masih jauh dari sentuhan teknologi informasi dan komunikasi. Memang, sudah banyak sekolah yang telah menjadi clien ICT.

Ketiga, belum ada perubahan paradigma pendidikan dalam dunia persekolahan kita. Meskipun sistem telah berubah, dari sentralistis ke desentralistis, tapi gaya pengelolaan dunia persekolahan kita tak ada bedanya dengan yang dulu-dulu. Kepemimpinan sekolah masih bergaya feodalistis bak borjuis kecil. Para penyelenggara pendidikan yang seharusnya melayani, tetapi justru minta dilayani. Praktik pendidikan pun masih selalu menunggu petunjuk dari atas; miskin kreativitas dan inovasi. Sekolah banyak mendapatkan droping peralatan dan fasilitas, tapi mereka tidak pernah mau belajar bagaimana cara menggunakannya. Tidak heran apabila subsidi perangkat televisi yang seharusnya sudah dimanfaatkan mengakses siaran TV-Education, masih banyak yang “ndongkrok”, bahkan masih terbungkus rapi.

Keempat, pemberdayaan profesionalisme guru yang masih “jalan di tempat”. Kini, era digital sudah merasuki lorong-lorong kehidupan masyarakat di negeri ini. Dunia maya mampu menyajikan berbagai informasi terbaru, menarik, dan aktual. Namun,sudah banyakkah rekan-rekan guru di negeri ini yang telah mencoba mengaksesnya untuk kepentingan pembelajaran? Dalam hal mengakses informasi, guru tak jarang “kalah bersaing” dengan murid-muridnya. “Siswa" didiknya sudah melaju mulus di atas jalan tol, tetapi sang guru masih bersikutat di balik semak belukar”.Mereka sudah biasa mengakses internet, baik milik orang tuanya maupun warnet, dan sudah begitu akrab dengan istilah-istilah dasar “ngenet”, seperti browsing, search engine, e-mail, atau chatting.

Oleh karena itu, sungguh pandangan yang keliru kalau pada abad gelombang informasi seperti sekarang ini masih ada seorang guru yang masih memosisikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar.

Read More...

Selasa, 24 Juni 2008

PERISTIWA MONAS (2)


Pelajaran “Berharga” Peristiwa Monas [2]

“Tidak ada asap, jika tidak ada api, “ujar KH. Cholil Ridwan melihat kasus Monas. Ada hegemogi media dan dukungan LSM pada AKKBB. Peristiwa ini harus menjadi pelajaran umat Islam.
Oleh : Sulardi
Sumber:www.hidayatullah.com

PROLOG:
Ketidadilan media massa, rovokasi kalangan liberal yang diback-up TV dan “adu-domba” antar ormas Islam membuat umat Islam “tak berdaya” dalam kasus Monas. Untugnya, kalangan Muslim cepat sadar. Sebuah pelajaran yang sangat berharga!
Ahmadiyah Akar Persoalan
Untungnya, umat Islam segera cepat sadar. Ketika provokasi “adu-domba” umat ini berlangsung massif dengan difasilitasi media massa dan TV, ormas-ormas Islam mengembalikan persoalan yang sesungguhnya.
Ketua MUI, KH. Cholil Ridwan mengatakan, insiden Monas Ahad, (1/6), lalu cuma “asap”. Untuk menghilangkan asap tersebut, maka apinya harus dipadamkan. Yang dimaksud “api”, kata KH. Cholil adalah, segala tindak kekerasan terhadap akidah umat Islam serta penodaan terhadap Al-Quran.
Setelah di beberapa tempat kelompok-kelompok organisasi “onderbow” NU melakukan pembalasan, tiba-tiba ormas Islam, seperti; Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Garda Bangsa, Pemuda Anshor, Pergerakan Mahasiswa (PMII), Forum Umat Islam (FUI), Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Tim Pengacara Muslim TPM), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Persatuan Umat Islam (PUI), dan Keluarga Muslim se-kota Bogor melakukan “Ikrar”. Di Balaikota Bogor, Jabar, mereka membuat "Ikrar Ukhuwah", guna menjaga situasi Kota Bogor tetap kondusif. Di beberapa tempat juga dilakukan hal sama. Termasuk di Jabar dan di Kalimantan.
Ketua PBNU, KH. Hasyim Muzadi menyatakan, “Sebenarnya, masalah Ahmadiyah ini bukan masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan, tetapi masalah penodaan agama tertentu, dalam hal ini adalah Islam.” Beliau juga menyesalkan sikap Pemerintah yang tidak tegas terhadap persoalan Ahmadiyah. (Republika.co.id, 3/6/2008).
Rois Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftahul Akhyar, juga menyatakan insiden Monas membuktikan SKB Ahmadiyah mendesak dikeluarkan (RCTI, 3/6/2008).
Islam sebagai Sasaran
Melihat pola arus informasi atas insiden ini, sepertinya mirip dengan pola yang digunakan di masa lalu. Dimana bisa diprediksi akan melahirkan beberapa hal;
Pertama: Adanya pengalihan isu. Semula isu yang dominan adalah tuntutan kenaikan harga BBM dan pembubaran Ahmadiyah yang telah dinyatakan menyimpang oleh Bakorpakem, juga kekerasan polisi di kampus UNAS. Kini, isu seakan bergeser menjadi isu pembubaran ormas Islam tertentu. Ketua Lembaga Penyuluh Bantuan Hukum PBNU, M Sholeh Amin mengingatkan jangan sampai pengalihan isu demikian dibiarkan. (Republika.co.id, 3/6/2008).
Kedua: Adanya Stigmatisasi ormas Islam. Dari banyak komentar dan opini media massa digambarkan betapa buruknya wajah kaum Muslim yang sebenarnya justru membela kemurnian akidahnya.
Ketiga: Menghancurkan organisasi Islam yang memperjuangkan syariah Islam dan secara terbuka menentang pornografi-pornoaksi, dan kemungkaran. Lihatlah, pasca Insiden Monas, Opini yang semua hanya mengecam “kekerasan” FPI, tiba-tiba bergeser pembubaran FPI lalu lebih meluas ke pembubaran MUI dan ormas-ormas Islam “garis keras”, istilah yang sering digunakan kaum liberal. Adnan Buyung Nasution dan Goenawan Mohamad menuntut pembubaran beberapa ormas Islam yang sesungguhnya tidak terkait sama sekali dengan insiden tersebut. Bahkan mereka mendesak Menteri Hukum dan HAM untuk mengajukan permohonan ke pengadilan lalu meminta hakim untuk membubarkan Majelis Ulama Indonesia (Hidayatullah.com, 2/6/2008).
Keempat: Ada pengendalian arus informasi. Di mana, aparat lebih cenderung bergerak atas “tekanan” media massa dan sekelompok kecil pakar yang tak merepresentasikan mayoritas orang. Inilah rupanya hal yang disadari kaum liberal yang tergabung dalam AKKBB. Pemanfaatan media sebatas ingin menunjukkan, bahwa publik setuju dengan pendapatnya. Sementara, pihak media massa –yang selama ini dianggap sebagai lembaga independent dalam teori-teori yang dipelajari di buku-buku—nyatanya juga berlaku subyektif dan tidak fair. Liputan TV One dan beberapa stasiun TV lebih cenderung “mengarahkan” orang membela Ahmadiyah dan menyudutkan kelompok penentangnya.
Syukur, peristiwa ini disadari umat Islam. Ketua Aliansi Damai Anti Penistaan Islam (ADA-API) KH Noer Muhammad Iskandar, beserta ulama dan tokoh Islam langsung melakukan aksi “perlawanan” dengan membalas aksi lebih besar, sekitar 9000 orang “mengepung” Istana. (Hidayatullah.com, 9/6/2008).
Tetapi, sekali lagi, media seperti Metro TV, TV One, TransTV, Trans-7, SCTV dan RCTI tak terlalu tertarik menjadikan liputan “LIVE”, sebagaimana saat menggerebek FPI. Sebab bagi media, besar atau kecil jumlah orang, itu hanyalah image (citra). Gerakan ribuan orang berpakaian putih-putih “mengepung” Istana tak terlalu menarik dibanding segelintir aktivis AKKBB. Sekali lagi, ini soal image (cintra)!.
Jadi, yang sedang terjadi sebenarnya adalah upaya “membungkam” orang dan organisasi yang secara tegas menyuarakan Islam.
Lantas siapa yang diuntungkan? Tentu, mereka yang tidak menginginkan Islam kuat dan mereka yang tidak menginginkan Indonesia kuat. Mereka yang diuntungkan adalah kaum imperialis dan para kompradornya.
Menarik dicatat, sebagian tokoh pendukung Ahmadiyah itu adalah para tokoh penting di balik Reformasi 1998 yang mendapat bantuan dana 26 juta dolar AS dari USAID untuk menjalankan agenda AS. Bantuan dana ini dapat dilihat dalam The New York Times (20 Mei 1998). Kedekatan AS dengan para tokoh AKKBB ini juga ditunjukkan dengan kedatangan Kuasa Usaha Kedubes AS untuk Indonesia, John Heffrn menjenguk anggota AKK-BB yang menjadi korban insiden Monas 1 Juni. Bahkan, salah satu rekomendasi The Rand Corporation (http://www.rand.org) dalam menundukkan Islam adalah mencegah aliansi antara kaum tradisionalis dan kaum fundamentalis. Caranya adalah dengan "mengadu-domba".
Karena itu, sungguh bijak pernyataan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang menyesalkan penggunaan dan pelibatan nama NU dan kelompok NU dalam masalah ini. “Karena relevansinya tidak ada antara NU dan Monas, NU dan FPI. Tapi, kenapa lalu ditulis korban itu adalah orang NU?” ujarnya. Oleh karena itu, KH Hasyim mengingatkan pihak-pihak yang ingin menggiring NU, terutama badan otonom NU seperti GP Ansor, Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa, Lakpesdam NU agar menghentikan provokasinya. (Detik.com, 3/6/2008).
Penutup
Meski SKB tiga Menteri –yang berupa surat peringatan dan perintah-- telah keluar, setidaknya, ke depan, umat Islam harus mulai belajar dari pengalaman buruk ini. Ke depan, umat Islam tak harus selalu diam. Apalagi menghadapi sikap otoritarianisme media massa yang sering tidak berlaku fair.
Bandingkan dengan cara kerja kalangan liberal seperti AKBB. Beberapa menit peristiwa, mereka sudah menggelar jumpa pers. Koran, radio dan TV mendukungnya. Tokoh-tokoh yang senantiasa dianggap pembela HAM langsung serempak berteriak dan semua menekan pemerintah.
Harus diakui, cara kerja kalangan liberal melalui AKKBB meski hanya segelintir orang –sebab mereka tak mewakili umat Islam mainstream— patut diacungi jempol. Hubungan antara AKKBB, LSM dan media massa adalah hubungan simbiosis saling menguntungkan yang melahirkan “kepentingan politik dan bahan berita.”
Alhamdulillah, sikap para ulama, tokoh masyarakat hingga para artis yang menjenguk Ketua FPI, Habib Rizieq, setidaknya “membalik” opini tidak fair yang telah dibangun media massa. Umat Islam sudah mulai cerdas. Ormas-ormas Islam juga cepat paham dan tak mau berlama-lama terkena umpan “provokasi” murahan.
Wahai kaum Muslim, hendaknya kita tidak mudah terprovokasi dan diadu-domba oleh kafir penjajah yang memang sangat ingin memecah-belah kesatuan umat Islam. Kita pun jangan sampai terdorong untuk memprovokasi dan mengadu-domba sesama Muslim karena Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu-domba.” (Mutaffaq ‘alaih).
Rasulullah saw pernah mengingatkan, bahwa umat Islam tidak akan pernah hancur oleh kekuatan luar yang berasal atau musuh-musuh Islam, kecuali ketika kita sudah saling menghancurkan satu sama lain:
«وَإِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي ِلأُمَّتِي أَنْ لاَ يُهْلِكَهَا بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ َلا يُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ فَيَسْتَبِيحَ بَيْضَتَهُمْ وَإِنَّ رَبِّي قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لاَ يُرَدُّ وَإِنِّي أَعْطَيْتُكَ ِلأُمَّتِكَ أَنْ لاَ أُهْلِكَهُمْ بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ َلاَ أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ يَسْتَبِيحُ بَيْضَتَهُمْ وَلَوْ اجْتَمَعَ عَلَيْهِمْ مَنْ بِأَقْطَارِهَا أَوْ قَالَ مَنْ بَيْنَ أَقْطَارِهَا حَتَّى يَكُونَ بَعْضُهُمْ يُهْلِكُ بَعْضًا وَيَسْبِي بَعْضُهُمْ بَعْضًا»
Sungguh, aku telah memohon kepada Tuhanku bagi umatku agar mereka tidak binasa karena wabah kelaparan dan agar musuh dari kalangan selain mereka sendiri tidak dapat menguasai mereka hingga masyarakat mereka terjaga. Sungguh, Tuhanku kemudian berfirman, “Wahai Muhammad, sesungguhnya jika Aku telah menetapkan suatu putusan maka putusan itu tidak dapat ditolak. Sungguh, Aku telah memberimu bagi umatmu bahwa mereka tidak dibinasakan oleh wabah kelaparan dan musuh selain dari kalangan mereka tidak dapat menguasai mereka sehingga masyarakat mereka terjaga sekalipun dikepung dari berbagai penjuru, hingga mereka saling menghancurkan satu sama lain dan saling menawan satu sama lain.” (HR Muslim).
Mudah-mudahan, peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk semakin matang, dewasa dan semakin cerdas di masa depan.

Read More...

PERISTIWA MONAS (1)


Pelajaran “Berharga” Peristiwa Monas [1]

“Tidak ada asap, jika tidak ada api, “ujar KH. Cholil Ridwan melihat kasus Monas. Ada hegemogi media dan dukungan LSM pada AKKBB. Peristiwa ini harus menjadi pelajaran umat Islam.
“ Sisi Lain Di Balik Kasus Monas “
Oleh: Sulardi
Sumber:www.hidayatullah.com
PRIHATIN! itulah perasaan bisa kita saksikan melihat kondisi umat Islam seminggu, sebelum ini. Belum lama rakyat disuguhi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Penolakan terus terjadi dimana-mana. Di susul penyerbuan aparat polisi di kampus Universitas Nasional (UNAS) dan tindakan anarkhisme yang melahirkan pengecaman di mana-mana. Belum lagi kasus “memalukan” pemerintah Indonesia, Blue Energy (energi biru) yang tiba-tiba cepat hilang berganti dengan kecaman terhadap Front Pembela Islam (FPI).
Mengapa isu-isu besar di Negeri kita begitu cepat berlalu dalam sekejab? Dan mengapa pula orang hanya sibuk melihat aksi “kekerasan” FPI? Mengapa tidak melihat mengapa FPI melakukan itu? tak banyak orang mempertanyakan secara jeli. Meminjam istilahnya Ketua MUI, Cholil Ridwan, “Bukankah tidak ada asap kalau tidak ada api?”. Tulisan ini, hanya mengungkap “sisi lain” di balik peristiwa itu.
“Provokasi” dan “Kekerasan Simbolik”
PADA saat ’Insiden Monas’, yaitu bentrokan antara Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dengan massa yang beratribut Front Pembela Islam (FPI) di Lapangan Silang Monas ke arah Jalan Medan Merdeka Selatan. (Belakangan dibantah bahwa yang bentrok itu bukanlah FPI melainkan Komando Laskar Islam (KLI).
Pakar komunikasi Universitas Hasanuddin, Aswar Hasan, mengatakan, bentrokan antara FPI dan AKKBB adalah efek dari “kekerasan simbolik” yang selama ini terjadi. Aksi-aksi sporadis kalangan liberal–seperti melecehkan MUI dan merendahkan wibawa ulama (ingat pelecehan dan penghinaan Adnan Buyung kepada KH Ma’ruf Amien, tokoh NU dan Ketua MUI di Radio BBC beberapa waktu lalu)–selalu mendapat tempat terhormat di media massa dan TV. “Jadi, sesungguhnya ‘kekerasan simbolik’ itu sudah lama dilakukan kalangan liberal terhadap kalangan Islam yang lain,” ujar Aswar (Hidayatullah.com, 2/6/2008).
AKKBB merupakan kelompok yang giat membela Ahmadiyah. Padahal Ahmadiyah telah dinyatakan sesat oleh berbagai organisasi seperti keputusan Majma’ al-Fiqih al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1985, Fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bahkan Badan Koordinasi Pengawas Kepercayaan dan Keyakinan Masyarakat (Bakorpakem) pada 16 April 2008 menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang dari Islam. Di saat seluruh ormas Islam colling down menunggu sikap pemerintah melalui surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pelarangan, tiba-tiba, AKKBB secara sporadis berusaha “menjegal” keluarnya SKB dengan cara memasang iklan.
Di tengah situasi psikologis seperti itu, setidaknya sejak 15 Mei 2008, terpampang iklan petisi di situs resmi AKKBB, yang disebar ke berbagai milis, dan akhirnya dirilis di 9 media massa nasional mulai tanggal 26 Mei 2008. Petisi bertajuk “Mari Pertahankan Indonesia Kita!” itu dikoordinasikan oleh ICRP dan Aliansi Bhineka Tunggal Ika dan disebar di beberapa milis di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Aliansi Bhineka Tunggal Ika adalah kelompok yang pernah menggerakkan kalangan lesbian, homo, para pelacur dan penyanyi dangdut untuk menyampaikan sikap penolakan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP). Dilihat dari pendukungnya pun terdiri dari ideolog sosialis, aktivis Ahmadiyah, sebagian warga non-Muslim dan kaum liberal.
“Dan Alhamdulillah setelah negosiasi dan melobi pihak sana sini akhirnya iklan petisi ini berhasil dimuat di 9 media dengan ukuran yang cukup lumayan. Satu halaman di Koran Tempo (26/5), Majalah Tempo dan Majalah Madina (01/6), setengah halaman di Koran Rakyat Merdeka, Jawa Pos, Media Indonesia (26/5), Sinar Harapan & The Jakarta Post (27/5) serta seperempat halaman di Kompas (30/5),” ujar Nong Darol Mahmada dalam situs pribadinya (http://nongmahmada.blogspot.com/).
Iklan petisi tersebut berisi pembelaan terhadap Ahmadiyah. Bukan hanya itu, petisi itu juga berusaha mengadu-domba umat Islam dengan Pemerintah dengan menyatakan, “Kami menyerukan, agar Pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum untuk tidak takut terhadap tekanan yang membahayakan ke-Indonesia-an itu.”
Provokasi terus terjadi. Majalah Tempo pada edisi 5-11 Mei 2008 menuduh para ulama dalam MUI lah yang menjadi biang “kekerasan”. “Kecemasan di mana-mana. Ketakutan merajalela. Majelis Ulama Indonesia harus bertanggung jawab atas semua ini.” Di bagian lain Tempo menulis, “Majelis Ulama sudah selayaknya meminta maaf kepada warga Ahmadiyah. Menjatuhkan fatwa sesat pada aliran itu berarti memberikan lampu hijau kepada gerombolan penyerang Ahmadiyah untuk bertindak anarkistis.“ Ingat, pemilik majalah Tempo adalah Goenawan Mohamad yang juga penggiat AKKBB dan Apel Akbar. Kalau bukan provokasi terhadap umat Islam, lantas untuk apa tulisan menghina ulama itu?
Black campaign juga dilakukan beberapa media massa saat memunculkan foto dan berita “Munarman Mencekik” anggota AKK-BB. Foto “Munarman mencekik” juga disebar anggota AKK-BB dan disalurkan ke beberapa media massa melalui jumpa pers yang difasilitasi the Wahid Institute Senin, (2/6)/. Untuk memberi kesan dramatis, detik.com mengutip seorang perempuan (entah siapa dan apa maksudnya pemuatan ini) dengan kutipan kalimat, “Mata Munarman terlihat jahat sekali. Mata mendelik,” kata seorang wanita, sebagaimana dikutip detik.com. Tak hanya detik, Koran Tempo menurunkan foto itu menjadi halaman utama.
Sayangnya, media dan AKK-BB kecele. Foto yang sudah terlanjur dimuat dan dirilis berbagai pers tiba-tiba keliru. Orang yang seolah-olah “dicekik” itu ternyata adalah anggota FPI bernama Ponco alias Ucok Nasrullah. Dalam jumpa pers di Markas FPI Petamburan Jakarta Barat, Munarman melakukan itu justru untuk mencegah Ponco agar tidak melakukan aksi anarkis. Hebatnya, media-media yang mengaku nasional seperti; Harian Indopos, detikcom, dan Koran Tempo, yang telah keliru memuat berita Munarman ini tak melakukan permintaan maaf dan meralat apapun atas kesalahannya.
Berdasarkan catatan-catatan tersebut, benar apa yang dikatakan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan bahwa insiden di Silang Monas tersebut tidak serta-merta kesalahan massa beratribut FPI saja. Amidhan menilai apa yang selama ini dilakukan AKKBB juga amat provokatif alias memancing-mancing kemarahan umat Islam. Salah satunya adalah tindakan AKKBB yang menyertakan wakil-wakil agama lain selain agama Islam untuk ikut-ikutan membela kelompok sesat Ahmadiyah (Eramuslim, 2/6/08).
Keganjilan
Selain provokasi dan “kekerasan” simbolik, ada beberapa keganjilan dalam aksi di Monas. Kapolres Jakarta Pusat Kombes Pol. Heru Winarko mengatakan kepada media massa pada 1 Juni 2008 bahwa AKKBB menurut rencana hanya berdemo di Cempaka Barat, lalu ke depan Kedubes AS, dan berikutnya menuju Bundaran Hotel Indonesia. Di ketiga tempat tersebut polisi sudah menyiapkan pengamanan. Di Monas, mereka tidak meminta pengamanan. ”Tapi, mengapa mereka malah masuk Monas?” ujarnya. Ada keanehan di sini. Selain itu, Juru Bicara Ahmadiyah Mubarik mengatakan, mengaku sudah memperkirakan akan terjadinya insiden tersebut. Namun, dia mengaku enggan untuk membatalkan rencana aksinya (Hidayatullah, 2/6/2008).
Bukankah ini berarti pembiaran terjadinya insiden tersebut? Lebih dari itu, seorang anggota AKKBB tertangkap kamera membawa pistol dalam Insiden Monas. Dalam konferensi KLI diputar sebuah video yang memperlihatkan seorang peserta aksi berkaos putih, dengan sebuah pita merah putih di lengan kirinya, sempat mengeluarkan sebuah senjata api. (Hidayatullah, 2/6/2008). Lebih dari itu, menurut pengakuan peserta dari FPI, juga ada provokasi dari panitia (Detik.com, 3/6/2008).
Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah dan DPR begitu sigap bersikap dalam insiden tersebut? Mengapa tiba-tiba fokus perhatian menjadi hanya sekedar “kekerasan” oleh FPI? Bagaimana dan kemana para aktivis AKK-BB? Aktivis AKK-BB tentu yang paling gembira.
“Lil (maksudnya Ulil Abshar, red), penggerebekan itu cuma tahap awal. Perjuangan harus jalan terus. Preman-preman berjubah dan para simpatisannya masih terus bergentayangan, termasuk di milis ini. Jadi, tahanlah dulu alhamdulillah- mu,” tulis Luthfi Assyaukanie, [Hidayatullah.com, 5 Juni 2008].
Semua ini menunjukkan ada kerjasama yang halus dan saling terkait

Read More...