English By Radio Elvictor FM

English By Radio Elvictor FM

Minggu, 02 November 2008


MENGAJAR SESUAI DENGAN TALENTA ANAK
Oleh : Sulardi,S.Pd,MM


Upacara penutupan Paralympic Games XII atau Olimpiade Penyandang Cacat di Athena, Yunani, digetarkan oleh atraksi luar biasa dari kelompok penari Negeri Tirai Bambu, Disabled People Performing Art, dalam pentas bertajuk ”My Dreams-from Olympia to Forbidden City”. Pentas spektakuler ini mengusung sebuah tarian Thousand-Hand Bodhisattva.
Pertunjukan ini menggambarkan Guan Yin (Kuan In) Seribu Tangan yang suci dan selalu welas asih memberkati seluruh umat manusia. Sebanyak 21 penari membentuk barisan sejajar dan menggerakkan tangan secara selaras membentuk helaian sayap merak sebagai harmoni keindahan.
Tampak dari depan, seolah Sang Dewi sedang menggerakkan ribuan tangannya dengan serasi dan indah. Pertunjukan semakin mencengangkan dan mengharukan manakala semua pemainnya merupakan penyandang tunarungu dan tunawicara. Kekaguman semakin memuncak ketika tanpa disangka, sembilan pemain di antaranya adalah pria. Dengan postur tubuh, ukuran tangan, dan kelembutan gerakan mereka luruh dalam kesatuan harmoni musik khas China. Dengan didampingi empat instruktur, mereka mampu memainkan gerakan rumit yang tetap kompak dan memesona.
Menggali keunikan talenta
Dari pertunjukan tersebut, sebenarnya kita diajak melihat core value dari keberhasilan sebuah proses pendidikan. Semua pemain pertunjukan tersebut merupakan orang yang memiliki sisi kekurangan dan kelemahan. Bahkan, di kalangan masyarakat luas telah terjadi stigmatisasi kelemahan permanen bagi mereka. Namun dengan segala kelemahan yang mereka miliki, seorang instruktur mampu membalikkan genotipe kelemahan menjadi talenta yang terpoles mengilap.
Butuh waktu untuk berproses dalam alur pembelajaran ini. Apalagi secara manusiawi, penyandang tunarungu akan kesulitan untuk mengikuti alunan ritme musik. Selain adanya proses belajar, para instruktur pertunjukan itu telah memperagakan bukan hanya proses pembelajaran, tetapi sekaligus proses pendidikan.
Ada dua hal penting dalam proses pembelajaran dari pendidikan ini, yaitu kepercayaan para instruktur bahwa anak didiknya memiliki talenta di antara sisi kelemahannya dan ketulusan hati para penari untuk percaya kepada instrukturnya. Alhasil, saat pertunjukan, para penari tidak hanya mampu membawakan keluwesan dan kekompakan gerakan. Namun lebih dari itu, dari senyum dan raut muka mereka tampak sebuah ketulusan untuk memberikan yang terbaik kepada para penonton.
Mereka tidak memahami keselarasan irama musik yang mengalun, tetapi tetap mempersembahkannya dengan tulus. Mereka tidak mampu menikmati keutuhan hasil karya mereka, tetapi tetap percaya dan tulus memberi yang terbaik. Satu saja gerakan yang tidak dilakukan dengan tulus akan mampu membuyarkan kekompakan seluruh penampilan mereka.
Tidak ada siswa yang bodoh
Herber Spencer pernah memberikan sebuah petuah bijak, ”The great aim education is not knowledge but action”. Kata-kata itulah yang selama ini menjadi jargon pendidikan yang justru sering terlupakan.
Sistem pendidikan kita sebenarnya telah mengacu pada rintisan petuah Spencer. Namun implementasi di lapangan, banyak kebijakan yang justru melenceng dari naluri dasar pendidikan.
Banyak cara mendidik kita selama ini sekadar memberikan materi pelajaran tanpa mampu mengolah ketulusan hati seorang siswa. Pada akhirnya, siswa hanya sebuah celengan yang selalu dijejali ”kepingan” materi pelajaran belaka tanpa mampu berempati terhadap situasi di sekelilingnya.
Bagi seorang guru, modal utama dalam mendidik adalah kepercayaan bahwa para siswa yang dihadapinya bukan seorang pribadi bodoh tanpa kemampuan. Meskipun mereka memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan, para pendidik seharusnya percaya bahwa ada talenta luar biasa di antara sisi kelemahan tersebut.
Selama ini kita telah dibiasakan memberi nilai siswa dari angka nol, yang berarti kita beranggapan bahwa siswa tidak bermodal apa pun saat mengerjakan soal tes. Mengapa kita tidak mengubah cara menilai dari angka seratus?
Kita seharusnya menganggap bahwa para siswa telah memiliki bekal kemampuan sehingga kesalahan menjawab soal tes digunakan untuk mengurangi angka seratus. Tanggung jawab seorang pendidik bukan hanya transfer ilmu secara masa bodoh, tetapi juga harus mampu menggali dan memoles keunikan talenta siswa yang tersembunyi.
Dengan bermodal kepercayaan terhadap sisi kemampuan siswa, seorang pendidik diharapkan telah mampu menyelami diri siswa secara cura personalis. Berbekal pendekatan pribadi inilah kita seharusnya mampu menggantungkan harapan penuh terhadap para pendidik. Kenyataan selama ini, kita sulit menemukan siswa dengan kepribadian tulus.
Para siswa dianggap cakap dalam kapasitasnya sebagai pelajar dengan kriteria mampu menguasai materi ajar. Semakin banyak materi pelajaran yang dikuasai, maka akan muncul anggapan siswa tersebut semakin pandai. Padahal, menurut Howard Gardner, ada multiple intelligences dalam setiap pribadi. Tidak hanya menguasai materi pelajaran, tetapi mampu memunculkan aksi untuk berekspresi dan menjalin relasi dengan orang lain, serta peka terhadap situasi sosialnya.
Semakin melonjaknya jumlah koruptor di negeri ini merupakan bukti kurang optimalnya proses pendidikan anak bangsa selama ini. Proses pendidikan kita baru sebatas memunculkan angka dan eksekusi lulus atau tidak lulus. Pendidikan kita belum mampu memberi waktu luang bagi para guru untuk membangun karakter ketulusan siswa. Para pendidik akhirnya tidak mampu berbuat lebih untuk menyentuh dimensi hati para siswa karena tuntutan spasial project kurikulum pemerintah.
Sebatas mentransfer
Dari sisi para siswa, tampak bahwa tidak ada lagi ”kepercayaan” terhadap gurunya. Para guru telah memiliki habits sebatas mentransfer materi pelajaran tanpa berkebiasaan merefleksikannya dalam kehidupan siswa setiap hari.
Tidak akan ada waktu lagi untuk menggali nilai hidup dan sekadar 10 menit di akhir pelajaran untuk bersama berefleksi terhadap materi pelajaran hari itu. Kebisaan inilah yang tidak lagi memunculkan rasa sungkan siswa terhadap guru, apalagi menjadikan guru sebagai suri teladan kehidupannya.
Saat ini, tidak ada beda antara guru dan CD multimedia pembelajaran. Bahkan lebih manjur dan mengasyikkan CD pembelajaran dalam menyampaikan pelajaran dibandingkan dengan seorang guru.
Hati tulus yang terbentuk dari proses pendidikan kita semakin jauh dari angan. Akhirnya akan sulit menemukan seorang pelajar dengan bekal ilmunya secara tulus mau memberi dan bersimpati terhadap lingkungannya.
Mendekatkan sistem pendidikan dengan pengolahan kepribadian dan mengubah cara pandang terhadap kelemahan siswa mutlak diperlukan untuk menanggulangi krisis ketulusan bangsa ini.
”Cacat tubuh bukan kekurangan, melainkan satu keistimewaan dalam perbedaan yang ada di antara umat manusia. Cacat tubuh bukan ketidakberuntungan, ia tidak lebih hanyalah ketidakpraktisan” (Tai Li Hua, pemimpin tarian Thousand- Hand Bodhisattva yang juga tunarungu dan tunawicara).

Read More...


PERANAN KECERDASAN EMOSIONAL DALAM PBM
Oleh : Sulardi,S.Pd,MM

Akar kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa Latin yang berarti ‘menggerakan, bergerak’, ditambah awalan “e’ untuk memberi arti “bergerak menjauh’, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Bahwasanya emosi memancing tindakan yang tidak rasional.
Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya (keadaan biologis dan psikologis), serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Ada ratusan emosi, bersama dengan campuran, variasi, mutasi, dan nuansanya. Sejumlah teori mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan:
• Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati, rasa pahit, berang, tersinggung, dan bermusuhan.
• Kesedihan pedih, suram, melankolis, mengasihi diri, kesepian, ditolak, putus asa.
• Rasa Takut : cemas, gugup, khawatir, waspada, tidak tenang, ngeri, fobia.
• Kenikmatan : bahagia, gembira, puas, bangga, terpesona, dan senang.
• Cinta : kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
• Terkejut : terkejut, terkesiap, takjub, terpana.
• Jengkel : hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.
• Malu : rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.
Dengan kata lain, apakah pengertian “kecerdasan emosional” (EQ) itu? Jawabannya, EQ adalah serangkaian kemampuan mengontrol dan menggunakan emosi, serta mengendalikan diri, semangat, motivasi, empati, kecakapan sosial, kerja sama, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.

2. Lima Aspek Kecerdasan Emosional

a. Mengenali emosi diri (Emotional Awareness)
Inti dan kecerdasan emosional adalah kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul, ciri kesadaran ini dilukiskan sebagai “perhatian tak memihak’. Kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut kedalam emosi, bereaksi secara berlebih an dan melebih-lebihkan apa yang diserap?

b. Mengelola emosi (Managing Emotion)
Emosi bukan untuk ditekan, karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Sebagaimana yang diamati Aristoteles, yang dikehendaki adalah emosi yang wajar, yakni adanya keselarasan antara perasaan dan lingkungan.

c. Memotivasi diri sendiri (Self Motivation)
Kecerdasan emosional dapat merupakan kecakapan utama apabila kita dapat mengelola tingkat emosi yakni dengan jalan mempertinggi kemampuan lainnya misalnya antusiasme, semangat, tekun, gigih, dan ulet.


d. Mengenali emosi orang lain (Managing Conflict/Empati)
Akar permasalahan disini adalah Empati (Empathia) yang artinya, adalah ikut merasakan bagaimana perasaan orang lain. Suatu kemampuan Empati dapat di tumbuhkan sejak bayi, dengan mulai belajar mensetarakan/menyelaraskan emosi.

e. Membina hubungan (Social Comunication)
Salah satu kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaannya sendiri (Tata Krama Tampilan). Dalam bersosialisasi hendaknya kita mempunyai tampilan emosi yang baik. Karena kecerdasan emosional mencakup dalam menangani hubungan sosial dan dapat menularkan emosi positif.


Sebagai pendidik yang terampil secara emosional dapat sangat membantu anak didik dengan memberi keterampilan emosional. Hasil dari beberapa survei membuktikan bahwa anak didik yang telah mendapat pendidikan EQ mempunyai sifat sbb:
• Lebih pintar menangani emosinya dan lebih stabil emosinya
• Lebih dapat berkonsentrasi
• Lebih bertanggung jawab dan lebih tegas
• Lebih memahami orang-orang lain
• Lebih terampil dalam menyelesaikan konflik
• Berfikir dahulu sebelum bertindak
• Lebih memahami akibat-akibat dari tindak tanduk mereka

Read More...

MIND MAPPING
Oleh : Sulardi,S.Pd,MM

Mind Mapping atau Peta Pikiran adalah metode mempelajari konsep yang ditemukan oleh Tony Buzan. Konsep ini didasarkan pada cara kerja otak kita menyimpan informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa otak kita tidak menyimpan informasi dalam kotak-kotak sel saraf yang terjejer rapi melainkan dikumpulkan pada sel-sel saraf yang berbercabang-cabang yang apabila dilihat sekilas akan tampak seperti cabang-cabang pohon.
Dari fakta tersebut maka disimpulkan apabila kita juga menyimpan informasi seperti cara kerja otak, maka akan semakin baik informasi tersimpan dalam otak dan hasil akhirnya tentu saja proses belajar kita akan semakin mudah.
Dari penjelasan diatas, bisa disimpulkan cara kerja Peta Pikiran adalah menuliskan tema utama sebagai titik sentral / tengah dan memikirkan cabang-cabang atau tema-tema turunan yang keluar dari titik tengah tersebut dan mencari hubungan antara tema turunan. Itu berarti setiap kali kita mempelajari sesuatu hal maka fokus kita diarahkan pada apakah tema utamanya, poin-poin penting dari tema yang utama yang sedang kita pelajari, pengembangan dari setiap poin penting tersebut dan mencari hubungan antara setiap poin. Dengan cara ini maka kita bisa mendapatkan gambaran hal-hal apa saja yang telah kita ketahui dan area mana saja yang masih belum dikuasai dengan baik.
Beberapa hal penting dalam membuat peta pikiran ada dibawah ini, yaitu:
1. Pastikan tema utama terletak ditengah-tengah
Contohnya, apabila kita sedang mempelajari pelajaran sejarah kemerdekaan Indonesia, maka tema utamanya adalah Sejarah Indonesia.
2. Dari tema utama, akan muncul tema-tema turunan yang masih berkaitan dengan tema utama
Dari tema utama "Sejarah Indonesia", maka tema-tema turunan dapat terdiri dari : Periode,Wilayah, Bentuk Perjuangan ,dll.
3. Cari hubungan antara setiap tema dan tandai dengan garis, warna atau simbol Dari setiap tema turunan tertama akan muncul lagi tema turunan kedua, ketiga dan seterusnya. Maka langkah berikutnya adalah mencari hubungan yang ada antara setiap tema turunan. Gunakan garis, warna, panah atau cabang dan bentuk-bentuk simbol lain untuk menggambarkan hubungan diantara tema-tema turunan tersebut..
Pola-pola hubungan ini akan membantu kita memahami topik yang sedang kita baca. Selain itu Peta Pikiran yang telah dimodifikasi dengan simbol dan lambang yang sesuai dengan selera kita, akan jauh lebih bermakna dan menarik dibandingkan Peta Pikiran yang "miskin warna".
4. Gunakan huruf besar
Huruf besar akan mendorong kita untuk hanya menuliskan poin-poin penting saja di Peta Pikiran. Selain itu, membaca suatu kalimat dalam gambar akan jauh lebih mudah apabila dalam huruf besar dibandingkan huruf kecil. Penggunaan huruf kecil bisa diterapkan pada poin-poin yang sifatnya menjelaskan poin kunci.
5. Buat peta pikiran di kertas polos dan hilangkan proses edit
Ide dari Peta Pikiran adalah agar kita berpikir kreatif. Karenanya gunakan kertas polos dan jangan mudah tergoda untuk memodifikasi Peta Pikiran pada tahap-tahap awal. Karena apabila kita terlalu dini melakukan modifikasi pada Peta Pikiran, maka sering kali fokus kita akan berubah sehingga menghambat penyerapan pemahaman tema yang sedang kita pelajari.
6. Sisakan ruangan untuk penambahan tema
Peta Pikiran yang bermanfaat biasanya adalah yang telah dilakukan penambahan tema dan modifikasi berulang kali selama beberapa waktu. Setelah menggambar Peta Pikiran versi pertama, biasanya kita akan menambahkan informasi, menulis pertanyaan atau menandai poin-poin penting. Karenanya selalu sisakan ruang di kertas Peta Pikiran untuk penambahan tema.

Read More...