English By Radio Elvictor FM

English By Radio Elvictor FM

Minggu, 26 Desember 2010

Assignment For Remidial Test


Assignment For Remidial Test
( SMK PENERBANGAN JUANDA SURABAYA )


1. Create a good dialogue based on the following situation:
Someone wants to book a room in one of the five stars hotel. He calls the hotel’s number from the brochure he got from his colleague. He asks the receptionist to find the best room there, unfortunately there is none. But he insist on that and ask the receptionist telling her manager about it. Finally, The manager of the approve it.
2. Create 15 sentences in Direct Speech and make it into Indirect Speech!
a. Command, 5 sentences
b. Statement, 5 sentences
c. Question, 5 sentences
Note :
How to submit your answer ?
1. if you got Facebook Account, just send it onto my Facebook Inbox ( Message )
2. You can send it onto my email address : mybreath_baby@yahoo.com
3. If can’t do either, Write your answer on a piece of paper, then submit it on January 03rd, when you get your Semester Report.

Good Luck,Guys!!

Read More...

Rabu, 24 Juni 2009

BEDA GURU SEKOLAH NEGERI,SEKOLAH SWASTA DAN BIMBINGAN BELAJAR


BEDA GURU SEKOLAH NEGERI,SEKOLAH SWASTA DAN BIMBINGAN BELAJAR
Oleh: Sulardi,S.Pd.,M.M

Guru merupakan ujung tombak keberhasilan suatu sistem pendidikan. Bagaimanapun sistem pendidikannya, jika guru kurang siap melaksanakannya tetap saja hasilnya sama "jelek". Sistem KBK yang diterapkan saat ini, sebetulnya sudah diterapkan di sekolah swasta yang ekonomi siswanya menengah ke atas. KBK suskses di sekolah swasta karena mereka berani memberikan kesejahteraan guru yang lebih baik dan fasilitas yang lengkap dibandingkan sekolah negeri, setidaknya ini juga disampaikan oleh Pak Said, bahwa sebetulnya yang sangat mempengaruhi kualitas guru adalah kondisi sosial guru. Renungkanlah kalimat yang diucapkan salah seorang guru besar Universiti Kebangsaan Malaysia saat melawat ke Jakarta "Di Indonesia sebetulnya gurunya pintar-pintar jika dibandingkan dengan Malaysia, lalu kenapa pendidikan disana lebih maju pesat, karena kami saat mengajar dalam benak kami tidak punya pikiran aduh gimana besok, sehingga kami benar-benar bekerja keras untuk pendidikan", kira-kira itulah sari kalimat yang disampaikan nya. Jadi, jika kita simak maksud kalimat saat mengajar dalam benak kami tidak punya pikiran "aduh gimana besok", saya yakin maksudnya bahwa agar guru mengajar dengan optinal di kelas, sebaiknya guru diberikan kenyamanan dalam hal kondisi sosialnya.

Di sekolah swasta yang bonafit, guru benar-benar dikontrol kualitasnya dengan berbagai program yang diadakan yayasan demi menjaga kualitas sekolah tersebut dan kepercayaan dari orang tua murid, sehingga hasilnya pun sangat memuaskan. Bukti sederhana bagaimana hasil didikan sekolah-sekolah swasta adalah prestasi siswa mereka di Olimpiade Sains tingkat Nasional dan Internasional. Misalnya, SMA Xaverius Palembang, SMA IPEKA Medan, dan SMA Aloysius Bandung, SMA BPK Penabur.

Guru di PNS (sekolah Negeri), sudah terlanjur terjebak oleh kalimat pahlawan tanpa pamrih, sehingga akibatnya posisi guru di masyarakat, bahkan di kalangan pejabat terasa terpinggirkan dan tersisihkan. Pemalsuan ijazah oleh caleg merupakan salah satu indikasi bahwa posisi guru diremehkan. Saat guru berpikir bahwa yang dilakukannya adalah hanya semata-mata ibadah, lalu godaan pun datang seperti siswa melecehkannya karena merasa "saya punya uang lebih", atau orang tua yang punya jabatan 'wah", seenaknya memaki guru oleh karena anaknya didisiplinkan, atau orang tua ingin anaknya punya rangking, sehingga mengembel-embel hadiah yang menjanjikan". Godaan itu, menjadi hal yang wajar dalam wajah pendidikan Indonesia, yang akhirnya menyeret keterpurukan bagsa ini. Bagi guru yang berkualitas, godaan tersebut seharusnya bisa ditolak, tapi malah ada juga guru yang marah ke siswa karena siswa tidak memberi hadiah saat kenaikan kelas.

Mungkin Pa Said lupa, mengapa banyak guru kurang optimal mengajar di kelas?. Cobalah simak bagaimana sekeksi guru PNS. Mengandalkan Akta IV yang dipunyai calon, calon guru hanya diuji tes tertulis, kemudian wawancara. Lalu apakan diuji cara mengajar atau meyampaikan materi pelajaran?. Ini juga salah satu kelemahan sistem seleksi guru kita di Indonesia (PNS), yang membuat guru mengajar kurang optimal, kita terlalu percaya bahwa yang punya Akta IV bisa mengajar, saya yakin tidak semua?. Kita patut puji Diknas Sukabumi, karena sistem seleksi guru di Sukabumi telah menerapkan hal tersebut. Dan ini pula, yang mengakibatkan kualitas guru di bimbel dengan guru sekolah timpang dalam hal menyampaikan materi.

Lalu bagaimana kualitas guru di sekolah dan di bimbel? Tulisan Sanita (HU PR Selasa, 04/05/04) yang berjudul "Bisakah sistem bimbel diterapkan di sekolah" merupakan ide yang cemerlang, tapi tidak semua betul. Beberapa hal yang mebedakan kuaitas guru di bimbel lebih baik dalam hal menyampaikan materi adalah sebagai berikut.

1. Seleksi guru. Di bimbel, sudah tentu syaratnya harus lulusan PTN, karena dia harus jadi panutan bagaimana siswa menembus PTN, tapi guru PNS tentu tidak hanya lulusan PTN. Selain harus lulus ujian tertulis, calon guru bimbel pun harus menyampaikan cara mengajar yang baik, setelah lulus 2 hal tersebut, biasanya guru diuji coba selama satu bulan, kemudian dinilai oleh siswa melalui angket tertulis, laliu dipertimbangkan untuk mengajar tetap di bimbel tersebut atau tidak sama sekali.

2. Pembinaan guru. Minimalnya setahun sekali, guru-guru bimbel diberikan penyegaran oleh pengajar senior setempat (tentu kualitas keilmuan dan mengajarnya sangat baik). Hal ini dilakukan di Bimbel, tapi guru-guru sekolah melalui Diknas mendapatkan penyeegaran tidak sesering itu.

3. Kesejahteraan guru. Tanyakanlah pada guru-guru yang sudah mengajar di bimbel 5 tahun ke atas. Saya yakin gajinya di atas 2 juta sebulan (meskipun tidak semua), bagaimana di sekolah?. Tetapi, meskipun gaji guru di sekolah tidak lebih sampai 2 juta, guru sekolah punya jaminan kesehatan, tunjangan pensiun, tunjangan dapur, tetapi umumnya di bimbel tidak ada.

4. Fasilitas. Siapa yang tidak senang belajar dengan suasana nyaman, dengan AC, absensi dengan komputer, atau bahkan belajar dengan multimedia, tulisan pengajarnya bagus dan warna-warni (dengan spidol).

5. Guru entertainer. Hal ini yang sulit dimiliki guru, rasa tertekan oleh kondisi social membuat guru sekolah hampir praktis tidak punya rasa entertainer, misal humor, hiburan. Tapi tidak sedikit guru yang memiliki hal itu disekolah. Alasan saya saat SMA menyukai fisika atau kumia, karena guru fisikanya selalu bernyanyi saat siswa menulis, atau guru kimia selalu humor di tengahsiswa serius. Di bimbel sikap entertainer sudah menajdi tuntukan jika tidak ingin kalah bersaing. Keramahan juga merupakan sikap entertainer guru, sehingga guru bimbel selalu bersedia ditanya masalah pelajaran kapanpun.

6. Evaluasi belajar yang rapih. Sistem evaluasi dengan dengan komputerisasi, sehingga siswa dapat dievaluasi kelemahannya di materi atau pelajaran apa, umumnya dilakukan di bimbel.

Namun, tidak semua sistem di bimbel lebih bagus, bahkan banyak hal sistem disekolah lebih bagus. Sistem bimbel pun sulit diterapkan di pelosok, apalagi jika anggaranya terbatas. Keunggulan sekolah dibandingkan bimbel dapat dilihat dari beberapa berikut ini:

1. Di bimbel yang diajarkan hampir bersifat praktis, rata-rata bukanlah konsep dasar, bahkan adakalanya guru bimbel mengajarkan cara cepat yang tidak logis atau tidak dterangkan rumus cepat itu dari mnana. Di sekolah, sudah pasti yang diajarkan konsep dasar (keilmuan dasar), karena hal itu tuntutan kurikulum dari DIKNAS. Sehingga beban guru sekolah sebetulnya lebih berat. Tapi tidak sedikit guru bimbel yang mengajarkan konsep dasar. Guru sekolah, yang juga mengajar di bimbel, biasanya sering mengkombinasikan hal ini, konsep dasar diajarkan dan carac cepat pun diberikan. Guru ini biasanya menajdi favorit di sekolah

2. Di sekolah punya guru BP, tempat siswa curhat. Sayang, hal ini belum dioptimalkan oleh siswa. Namun saat ini, ada juga bimbel yang mengadakan konsultasi mental dalam mengahadapi ujian, sampai mendatangkan pakar otak kanan agar lebih menarik siswa, meskipun bayarannya lebih mahal.

3. Wibawa guru di sekolah sebetulnya lebih besar, siswa lebih segan pada guru sekolah. Tapi bandingkan di Bimbel, tidak sedikit siswa yang seenaknya melecehkan guru, terutama siswa kelas 2, tapi itupun tergantung pendekatan gurunya.

Era globalisasi di Indonesia sudah mulai, jadi Guru berkualitas pun sudah merupakan tuntutan dalam pendidikan nasional. Lalu seperti apa guru berkualitas itu? Tentu yang mengajarnya dimengerti siswa, wawasan keilmuannya baik, suri tauladan bagi pendidikan moral siswanya, dan punya keinginan untuk meng-up grade dirinya, dan totalitas bagi pendidikan. Jika melihat dari permasalah-permasalan yang ada, tentu meningkatkan kulitas guru di sekolah bukan hal yang mudah, tetapi saya punya beberapa pemikiran untuk hal tersebut.

1. Kesejahteraan guru sudah menjadi hal yang wajib untuk diperhatikan, agar posisi tawar guru lebih besar dalam tatanan republik ini. Artinya, jika suatu waktu ekonomi Indonesia membaik, wajar jika guru ditingkatkan kesejahteraanya. Di Negara-negara yang pendidikan maju seperti Jepang, Malaysia atau Singapura gaji guru lebih utama di bandingkan pegawai lain.

2. Dalam penyeleksian Guru hendaknya selalu diuji bagaimana guru menyampaikan materi pelajaran ke siswa, jika memang kurang baik mengajarnya, meskipun tes tertulis lulus lebih baik digagalkan. Atau, jika seleksi dosen ada tes psikotes, mengapa pada seleksi guru tidak dilakukan.

3. Sertifikasi guru dan pembinaan guru perlu dilakukan secara rutin, terutama bagi pengajar baru atau pengajar lama yang memang banyak dikeluhkan oleh siswa kurang baik mengajarnya. Pemerintah dalam hal ini Depdiknas harus tegar, jika guru tersebut tidak bisa mengajar, lebih baik dipindahkan di bagian lain. Jadi, Depdikas sebaiknya memiliki seksi yang memonitoring kualitas guru.

4. Fasilitas sangat mendukung keberhasilan sistem pendidikan. Jika Pemerintah serius terhadap pendidikan, maka fasilitas harus diperbaiki. Untuk halk ini, Pemerintah harus menganggarkan lebih banyak dalam APBN Pendidikan, karena masih banyak sekolah yang tidak layak pakai.

5. Reformasi 3 hal di atas, tentu memerlukan anggaran dana, oleh karena itu Pemerintah bersama legislatif harus berjuang keras agar APBN pendidikan ditingkatkan di atas 20 %.

Pengalaman saya menangani siswa SMA selama 10 tahun, bagaimanapun jenis kepandaian siswa, jika pendekatan dari gurunya benar, kemungkinan keberhasilan siswa sangat besar. Siswa SD, SMP, dan SMA sangat sekali tergantung pada guru. Jika gurunya menyenagkan, maka siswa itu akan sukan pada pelajaran yang gurunya menyenagkan. Faktor ini merupakan salah satu yang memepengaruhi siswa dalam memilih jurusan di Perguruan Tinggi (PT). Hingga saat ini, saya sangat suka kimia, sehingga saya dipercayakan menjadi dosen yang memegang kimi jurusan saya, hal ini dikarenakan guru-guru kimia saya saat kelas 1 hingga kelas 3 SMA menyenangkan, dan lulusan SMA saya umumnya memilih jurusan yang banyak kimianya di PT. Saya yakin kecendurungan ini juga terjadi di sekolah lain, namun berbeda dengan di PT, idealisme mahasiswa lebih menentukan apa yang harus dia pilih. Mengingat hal di atas, maka Guru merupakan ujung tanduk di sekolah, jika gurunya berkualitas maka siswanya pun senang, tidak gentar hadapi UAN, bahkan SPMB sekalipun.

Read More...

Sabtu, 13 Juni 2009

GURU DAN PERUBAHAN PARADIGMA PEMBELAJARAN


GURU DAN PERUBAHAN PARADIGMA PEMBELAJARAN
Oleh : Sulardi,S.Pd.,M.M

Guru menjadi figur yang teramat penting ditengah derasnya dinamika dan tuntutan perubahan kebijakan menyangkut peningkatan mutu pendidikan saat ini. Sebab apapun perubahan dibidang pendidikan, pada akhirnya akan ditentukan oleh guru melalui pekerjaan profesinya di ruang-ruang kelas. Sedemikian pentingnya peran guru tersebut, sehingga Kaisar Jepang pernah mempertanyakan jumlah guru yang dimiliki negaranya, setelah Jepang porak-poranda digempur sekutu. Disisi lain, ditengah tuntutan reformasi bidang pendidikan guru pun menjadi sosok yang patut diperhitungkan. Persoalannya sekarang, apakah semua guru telah sadar akan peran dan fungsinya dalam proses reformasi tersebut ? ataukah guru masih terjebak dalam mimpi-mimpi indah dan tertidur dalam pelukan status quo yang mengedepankan guru sebagai sosok yang maha tahu.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat saat ini, tantangan bagi guru justru semakin besar terutama menyongsong pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Perubahan ini tentunya menuntut guru untuk meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi pribadi, kompetensi bidang ilmu dan kompetensi dalam hal pembelajaran. Kompetensi ini selanjutnya akan menempatkan guru pada sebuah paradigma baru dalam proses pembelajaran. Model pendekatan guru yang dulu begitu otoriter dengan asumsi bahwa guru tahu segala-galanya dan siswa tidak tahu apa-apa (teori tabularasa) sudah tidak berlaku lagi. Pendekatan pembelajaran dewasa ini mesti memiliki nuansa demokratis, dimana guru dan siswa saling belajar dan membantu. Siswa dengan bebas boleh mengungkapkan gagasan dan pikirannya tanpa ada rasa takut terhadap guru. Guru pun harus rela dan mau belajar dari siswa, terutama siswa yang memiliki keunggulan dalam bidang ilmu tertentu. Kemajuan teknologi saat ini menyebakan semua informasi dengan mudah dapat diakses oleh sebagian besar siswa-siswa kita. Hanya dengan beberapa kali klik mouse saja, mereka sudah merambah informasi dan pengetahuan dari berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu, jika guru tidak terus belajar maka bukan tidak mungkin ia akan ketinggalan dengan siswanya.

Dari sisi kompetensi pribadi, guru harus memiliki kemampuan mengaktulisasikan dirinya sebagai pribadi yang baik, bertanggung jawab, terbuka dan terus mau belajar. Seluruh tugas pendidikan dan pembelajaran yang menyangkut perkembangan anak didik tidak dapat dilakukan seenaknya oleh guru, tapi perlu direncanakan dan dilakukan dengan rasa tanggung jawab. Meski tugas guru lebih sebagai fasilitator, tetapi tetap punya tanggung jawab penuh terhadap perkembangan anak didik. Dari pengalaman di lapangan banyak dijumpai pendidikan anak menjadi rusak karena guru mengabaikan tanggung jawabnya. Misalnya, pelecehan seksual guru terhadap anak didik, guru meninggalkan kelas seenaknya, guru tidak mempersiapkan pelajaran dengan baik, dan lain-lain.

Paradigma pembelajaran baru juga menuntut guru untuk memiliki kemampuan bidang studi yang memadai. Kemampuan ini memuat pemahaman akan karakteristik dan isi bahan ajar, mengusai konsepnya, mengenal metodologinya dan memahami konteks bahan yang diajarkan serta kaitannya dengan kebutuhan masyarakat, lingkungan dan dengan ilmu lain. Kondisi pembelajaran yang banyak terjadi dewasa ini adalah guru hanya memberikan ilmu sebagai suatu produk dengan memindahkan teori-teori dari para ahli kedalam otak anak didik untuk dihafalkan. Persoalan bagaimana teori itu ditemukan dengan berbagai pendekatan, metodologinya dan pengujian untuk mengungkap fakta, tidak pernah disampaikan kedalam pikiran anak didik. Akibatnya, anak didik kita tidak pandai untuk menghubungkan teori yang mereka dapat di kelas dengan realitas yang mereka temukan di lingkungan mereka, serta respons mereka terhadap realitas tersebut menjadi kosong-melompong. Dengan kompetensi bidang ilmu yang baik, maka guru akan mengajarkan ilmu sebagai sebuah proses dan bukan sebagai produk. Dengan demikian, semagat untuk terus belajar dan semangat untuk maju mesti terus dikedepankan oleh seorang guru. Kagandrungan seorang guru untuk terus mencari informasi lewat berbagai literatur baik cetak maupun elektronik, interaksi dengan teman se-profesi dan terlibat dalam berbagai diskusi maupun seminar tentang pendidikan akan membuat guru paham akan proses pendidikan mulai dari tataran filosofi sampai pada tataran operasionalnya.

Dengan mengedapankan paradigma ini, sebetulnya penulis ingin menggelitik naluri dan idealisme kita sebagai guru. Dimana posisi kita sekarang ? apakah kita masih tetap ingin mempertahankan sebuah status quo ataukah kita bertekad untuk menjadi sosok guru yang moderat-demokratis untuk siap berubah sesuai dengan tuntutan zaman yang juga terus berubah ?. Menurut hemat penulis, pilihan terhadap alternatif kedua akan menempatkan kita pada profil guru masa depan yang akan berbuat banyak bagi kemajuan bangsa ini. S e m o g a

Read More...

Minggu, 02 November 2008


MENGAJAR SESUAI DENGAN TALENTA ANAK
Oleh : Sulardi,S.Pd,MM


Upacara penutupan Paralympic Games XII atau Olimpiade Penyandang Cacat di Athena, Yunani, digetarkan oleh atraksi luar biasa dari kelompok penari Negeri Tirai Bambu, Disabled People Performing Art, dalam pentas bertajuk ”My Dreams-from Olympia to Forbidden City”. Pentas spektakuler ini mengusung sebuah tarian Thousand-Hand Bodhisattva.
Pertunjukan ini menggambarkan Guan Yin (Kuan In) Seribu Tangan yang suci dan selalu welas asih memberkati seluruh umat manusia. Sebanyak 21 penari membentuk barisan sejajar dan menggerakkan tangan secara selaras membentuk helaian sayap merak sebagai harmoni keindahan.
Tampak dari depan, seolah Sang Dewi sedang menggerakkan ribuan tangannya dengan serasi dan indah. Pertunjukan semakin mencengangkan dan mengharukan manakala semua pemainnya merupakan penyandang tunarungu dan tunawicara. Kekaguman semakin memuncak ketika tanpa disangka, sembilan pemain di antaranya adalah pria. Dengan postur tubuh, ukuran tangan, dan kelembutan gerakan mereka luruh dalam kesatuan harmoni musik khas China. Dengan didampingi empat instruktur, mereka mampu memainkan gerakan rumit yang tetap kompak dan memesona.
Menggali keunikan talenta
Dari pertunjukan tersebut, sebenarnya kita diajak melihat core value dari keberhasilan sebuah proses pendidikan. Semua pemain pertunjukan tersebut merupakan orang yang memiliki sisi kekurangan dan kelemahan. Bahkan, di kalangan masyarakat luas telah terjadi stigmatisasi kelemahan permanen bagi mereka. Namun dengan segala kelemahan yang mereka miliki, seorang instruktur mampu membalikkan genotipe kelemahan menjadi talenta yang terpoles mengilap.
Butuh waktu untuk berproses dalam alur pembelajaran ini. Apalagi secara manusiawi, penyandang tunarungu akan kesulitan untuk mengikuti alunan ritme musik. Selain adanya proses belajar, para instruktur pertunjukan itu telah memperagakan bukan hanya proses pembelajaran, tetapi sekaligus proses pendidikan.
Ada dua hal penting dalam proses pembelajaran dari pendidikan ini, yaitu kepercayaan para instruktur bahwa anak didiknya memiliki talenta di antara sisi kelemahannya dan ketulusan hati para penari untuk percaya kepada instrukturnya. Alhasil, saat pertunjukan, para penari tidak hanya mampu membawakan keluwesan dan kekompakan gerakan. Namun lebih dari itu, dari senyum dan raut muka mereka tampak sebuah ketulusan untuk memberikan yang terbaik kepada para penonton.
Mereka tidak memahami keselarasan irama musik yang mengalun, tetapi tetap mempersembahkannya dengan tulus. Mereka tidak mampu menikmati keutuhan hasil karya mereka, tetapi tetap percaya dan tulus memberi yang terbaik. Satu saja gerakan yang tidak dilakukan dengan tulus akan mampu membuyarkan kekompakan seluruh penampilan mereka.
Tidak ada siswa yang bodoh
Herber Spencer pernah memberikan sebuah petuah bijak, ”The great aim education is not knowledge but action”. Kata-kata itulah yang selama ini menjadi jargon pendidikan yang justru sering terlupakan.
Sistem pendidikan kita sebenarnya telah mengacu pada rintisan petuah Spencer. Namun implementasi di lapangan, banyak kebijakan yang justru melenceng dari naluri dasar pendidikan.
Banyak cara mendidik kita selama ini sekadar memberikan materi pelajaran tanpa mampu mengolah ketulusan hati seorang siswa. Pada akhirnya, siswa hanya sebuah celengan yang selalu dijejali ”kepingan” materi pelajaran belaka tanpa mampu berempati terhadap situasi di sekelilingnya.
Bagi seorang guru, modal utama dalam mendidik adalah kepercayaan bahwa para siswa yang dihadapinya bukan seorang pribadi bodoh tanpa kemampuan. Meskipun mereka memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan, para pendidik seharusnya percaya bahwa ada talenta luar biasa di antara sisi kelemahan tersebut.
Selama ini kita telah dibiasakan memberi nilai siswa dari angka nol, yang berarti kita beranggapan bahwa siswa tidak bermodal apa pun saat mengerjakan soal tes. Mengapa kita tidak mengubah cara menilai dari angka seratus?
Kita seharusnya menganggap bahwa para siswa telah memiliki bekal kemampuan sehingga kesalahan menjawab soal tes digunakan untuk mengurangi angka seratus. Tanggung jawab seorang pendidik bukan hanya transfer ilmu secara masa bodoh, tetapi juga harus mampu menggali dan memoles keunikan talenta siswa yang tersembunyi.
Dengan bermodal kepercayaan terhadap sisi kemampuan siswa, seorang pendidik diharapkan telah mampu menyelami diri siswa secara cura personalis. Berbekal pendekatan pribadi inilah kita seharusnya mampu menggantungkan harapan penuh terhadap para pendidik. Kenyataan selama ini, kita sulit menemukan siswa dengan kepribadian tulus.
Para siswa dianggap cakap dalam kapasitasnya sebagai pelajar dengan kriteria mampu menguasai materi ajar. Semakin banyak materi pelajaran yang dikuasai, maka akan muncul anggapan siswa tersebut semakin pandai. Padahal, menurut Howard Gardner, ada multiple intelligences dalam setiap pribadi. Tidak hanya menguasai materi pelajaran, tetapi mampu memunculkan aksi untuk berekspresi dan menjalin relasi dengan orang lain, serta peka terhadap situasi sosialnya.
Semakin melonjaknya jumlah koruptor di negeri ini merupakan bukti kurang optimalnya proses pendidikan anak bangsa selama ini. Proses pendidikan kita baru sebatas memunculkan angka dan eksekusi lulus atau tidak lulus. Pendidikan kita belum mampu memberi waktu luang bagi para guru untuk membangun karakter ketulusan siswa. Para pendidik akhirnya tidak mampu berbuat lebih untuk menyentuh dimensi hati para siswa karena tuntutan spasial project kurikulum pemerintah.
Sebatas mentransfer
Dari sisi para siswa, tampak bahwa tidak ada lagi ”kepercayaan” terhadap gurunya. Para guru telah memiliki habits sebatas mentransfer materi pelajaran tanpa berkebiasaan merefleksikannya dalam kehidupan siswa setiap hari.
Tidak akan ada waktu lagi untuk menggali nilai hidup dan sekadar 10 menit di akhir pelajaran untuk bersama berefleksi terhadap materi pelajaran hari itu. Kebisaan inilah yang tidak lagi memunculkan rasa sungkan siswa terhadap guru, apalagi menjadikan guru sebagai suri teladan kehidupannya.
Saat ini, tidak ada beda antara guru dan CD multimedia pembelajaran. Bahkan lebih manjur dan mengasyikkan CD pembelajaran dalam menyampaikan pelajaran dibandingkan dengan seorang guru.
Hati tulus yang terbentuk dari proses pendidikan kita semakin jauh dari angan. Akhirnya akan sulit menemukan seorang pelajar dengan bekal ilmunya secara tulus mau memberi dan bersimpati terhadap lingkungannya.
Mendekatkan sistem pendidikan dengan pengolahan kepribadian dan mengubah cara pandang terhadap kelemahan siswa mutlak diperlukan untuk menanggulangi krisis ketulusan bangsa ini.
”Cacat tubuh bukan kekurangan, melainkan satu keistimewaan dalam perbedaan yang ada di antara umat manusia. Cacat tubuh bukan ketidakberuntungan, ia tidak lebih hanyalah ketidakpraktisan” (Tai Li Hua, pemimpin tarian Thousand- Hand Bodhisattva yang juga tunarungu dan tunawicara).

Read More...


PERANAN KECERDASAN EMOSIONAL DALAM PBM
Oleh : Sulardi,S.Pd,MM

Akar kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa Latin yang berarti ‘menggerakan, bergerak’, ditambah awalan “e’ untuk memberi arti “bergerak menjauh’, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Bahwasanya emosi memancing tindakan yang tidak rasional.
Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya (keadaan biologis dan psikologis), serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Ada ratusan emosi, bersama dengan campuran, variasi, mutasi, dan nuansanya. Sejumlah teori mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan:
• Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati, rasa pahit, berang, tersinggung, dan bermusuhan.
• Kesedihan pedih, suram, melankolis, mengasihi diri, kesepian, ditolak, putus asa.
• Rasa Takut : cemas, gugup, khawatir, waspada, tidak tenang, ngeri, fobia.
• Kenikmatan : bahagia, gembira, puas, bangga, terpesona, dan senang.
• Cinta : kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
• Terkejut : terkejut, terkesiap, takjub, terpana.
• Jengkel : hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.
• Malu : rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.
Dengan kata lain, apakah pengertian “kecerdasan emosional” (EQ) itu? Jawabannya, EQ adalah serangkaian kemampuan mengontrol dan menggunakan emosi, serta mengendalikan diri, semangat, motivasi, empati, kecakapan sosial, kerja sama, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.

2. Lima Aspek Kecerdasan Emosional

a. Mengenali emosi diri (Emotional Awareness)
Inti dan kecerdasan emosional adalah kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul, ciri kesadaran ini dilukiskan sebagai “perhatian tak memihak’. Kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut kedalam emosi, bereaksi secara berlebih an dan melebih-lebihkan apa yang diserap?

b. Mengelola emosi (Managing Emotion)
Emosi bukan untuk ditekan, karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Sebagaimana yang diamati Aristoteles, yang dikehendaki adalah emosi yang wajar, yakni adanya keselarasan antara perasaan dan lingkungan.

c. Memotivasi diri sendiri (Self Motivation)
Kecerdasan emosional dapat merupakan kecakapan utama apabila kita dapat mengelola tingkat emosi yakni dengan jalan mempertinggi kemampuan lainnya misalnya antusiasme, semangat, tekun, gigih, dan ulet.


d. Mengenali emosi orang lain (Managing Conflict/Empati)
Akar permasalahan disini adalah Empati (Empathia) yang artinya, adalah ikut merasakan bagaimana perasaan orang lain. Suatu kemampuan Empati dapat di tumbuhkan sejak bayi, dengan mulai belajar mensetarakan/menyelaraskan emosi.

e. Membina hubungan (Social Comunication)
Salah satu kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaannya sendiri (Tata Krama Tampilan). Dalam bersosialisasi hendaknya kita mempunyai tampilan emosi yang baik. Karena kecerdasan emosional mencakup dalam menangani hubungan sosial dan dapat menularkan emosi positif.


Sebagai pendidik yang terampil secara emosional dapat sangat membantu anak didik dengan memberi keterampilan emosional. Hasil dari beberapa survei membuktikan bahwa anak didik yang telah mendapat pendidikan EQ mempunyai sifat sbb:
• Lebih pintar menangani emosinya dan lebih stabil emosinya
• Lebih dapat berkonsentrasi
• Lebih bertanggung jawab dan lebih tegas
• Lebih memahami orang-orang lain
• Lebih terampil dalam menyelesaikan konflik
• Berfikir dahulu sebelum bertindak
• Lebih memahami akibat-akibat dari tindak tanduk mereka

Read More...

MIND MAPPING
Oleh : Sulardi,S.Pd,MM

Mind Mapping atau Peta Pikiran adalah metode mempelajari konsep yang ditemukan oleh Tony Buzan. Konsep ini didasarkan pada cara kerja otak kita menyimpan informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa otak kita tidak menyimpan informasi dalam kotak-kotak sel saraf yang terjejer rapi melainkan dikumpulkan pada sel-sel saraf yang berbercabang-cabang yang apabila dilihat sekilas akan tampak seperti cabang-cabang pohon.
Dari fakta tersebut maka disimpulkan apabila kita juga menyimpan informasi seperti cara kerja otak, maka akan semakin baik informasi tersimpan dalam otak dan hasil akhirnya tentu saja proses belajar kita akan semakin mudah.
Dari penjelasan diatas, bisa disimpulkan cara kerja Peta Pikiran adalah menuliskan tema utama sebagai titik sentral / tengah dan memikirkan cabang-cabang atau tema-tema turunan yang keluar dari titik tengah tersebut dan mencari hubungan antara tema turunan. Itu berarti setiap kali kita mempelajari sesuatu hal maka fokus kita diarahkan pada apakah tema utamanya, poin-poin penting dari tema yang utama yang sedang kita pelajari, pengembangan dari setiap poin penting tersebut dan mencari hubungan antara setiap poin. Dengan cara ini maka kita bisa mendapatkan gambaran hal-hal apa saja yang telah kita ketahui dan area mana saja yang masih belum dikuasai dengan baik.
Beberapa hal penting dalam membuat peta pikiran ada dibawah ini, yaitu:
1. Pastikan tema utama terletak ditengah-tengah
Contohnya, apabila kita sedang mempelajari pelajaran sejarah kemerdekaan Indonesia, maka tema utamanya adalah Sejarah Indonesia.
2. Dari tema utama, akan muncul tema-tema turunan yang masih berkaitan dengan tema utama
Dari tema utama "Sejarah Indonesia", maka tema-tema turunan dapat terdiri dari : Periode,Wilayah, Bentuk Perjuangan ,dll.
3. Cari hubungan antara setiap tema dan tandai dengan garis, warna atau simbol Dari setiap tema turunan tertama akan muncul lagi tema turunan kedua, ketiga dan seterusnya. Maka langkah berikutnya adalah mencari hubungan yang ada antara setiap tema turunan. Gunakan garis, warna, panah atau cabang dan bentuk-bentuk simbol lain untuk menggambarkan hubungan diantara tema-tema turunan tersebut..
Pola-pola hubungan ini akan membantu kita memahami topik yang sedang kita baca. Selain itu Peta Pikiran yang telah dimodifikasi dengan simbol dan lambang yang sesuai dengan selera kita, akan jauh lebih bermakna dan menarik dibandingkan Peta Pikiran yang "miskin warna".
4. Gunakan huruf besar
Huruf besar akan mendorong kita untuk hanya menuliskan poin-poin penting saja di Peta Pikiran. Selain itu, membaca suatu kalimat dalam gambar akan jauh lebih mudah apabila dalam huruf besar dibandingkan huruf kecil. Penggunaan huruf kecil bisa diterapkan pada poin-poin yang sifatnya menjelaskan poin kunci.
5. Buat peta pikiran di kertas polos dan hilangkan proses edit
Ide dari Peta Pikiran adalah agar kita berpikir kreatif. Karenanya gunakan kertas polos dan jangan mudah tergoda untuk memodifikasi Peta Pikiran pada tahap-tahap awal. Karena apabila kita terlalu dini melakukan modifikasi pada Peta Pikiran, maka sering kali fokus kita akan berubah sehingga menghambat penyerapan pemahaman tema yang sedang kita pelajari.
6. Sisakan ruangan untuk penambahan tema
Peta Pikiran yang bermanfaat biasanya adalah yang telah dilakukan penambahan tema dan modifikasi berulang kali selama beberapa waktu. Setelah menggambar Peta Pikiran versi pertama, biasanya kita akan menambahkan informasi, menulis pertanyaan atau menandai poin-poin penting. Karenanya selalu sisakan ruang di kertas Peta Pikiran untuk penambahan tema.

Read More...

Sabtu, 25 Oktober 2008

Mendambakan Guru yang Humoris
Oleh: SULARDI , S.Pd.MM
Guru Bahasa Inggris di SMK Penerbangan Sedati Sidoarjo





Era reformasi yang identik dengan rumit, runyam, dan semrawutnya kehidupan di negeri tercinta ini sangat mengguncang fisik dan psikis masyarakat. Kondisi perpolitikan, perekonomian, pendidikan, bahkan sampai dengan moralitas hampir-hampir terpuruk sampai pada titik terendah. Belum lagi ditambah dengan kondisi alam yang kurang bersahabat, berbagai bencana melanda dan mendera di sana-sini sungguh merupakan beban yang makin berat menindih kehidupan bangsa ini. Hal ini membawa konsekuensi kerasnya pola kehidupan yang cenderung menjadi sensitif, emosional, dan temperamental di seluruh lapisan masyarakat termasuk para pelajar/siswa. Bukti-bukti sangat banyak dan tidak perlu diragukan, bisa disimak di semua media baik cetak maupun elektronika. Berapa banyak siswa terlibat kekerasan, berapa banyak siswa jualan koran, asongan, sampai dengan pemulung dan anak jalanan hanya karena terpaksa harus membantu meringankan beban ekonomi orangtuanya. Dunia rekreatif nyaris tak pernah tersentuh oleh mereka.

Dari ilustrasi di atas dapat dibayangkan betapa berat beban hidup siswa ketika di luar sekolah. Belum lagi di sekolah harus dituntut mengikuti pelajaran ini dan itu, menyelesaikan tugas dari guru ini dan itu. Hal yang demikian masihkah harus ditambah dengan tampang, peampilan, dan perlakuan-perlakuan yang menyeramkan dan tidak menyenangkan ketika di sekolah. Jawabannya sudah barang tentu tidak. Kondisi yang demikian seyogianya dicarikan kompensasi penawarnya demi terwujudnya tujuan sebuah pembelajaran yang optimal. Untuk itu, guru yang humorislah salah satu alternatifnya.

Guru yang humoris senantiasa cerdas dalam menciptakan dan mengondisikan suasana pembelajaran yang memnyenagkan dan menggairahkan bagi para siswanya. Kelakar dan joke-joke segar senantiasa bisa dimunculkan dan dikaitkan dangan berbagai konteks dan materi dalam pembelajaran. Apapun materinya dan bagaimanapun suasananya, guru yang humoris mampu meramu menjadi sebuah anekdot yang menggelitik dan menggelikan. Sudah barang tentu hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah menyesuaikan materi anekdot dengan tingkat perkembangan usia siswa. Sehingga, dengan suasana yang cair dan segar tersebut, pembelajaran menjadi menyenangkan dan menggairahkan. Secara psikologis siswa siap untuk menerima pelajaran, materi yang menjemukan menjadi mengasyikkan, yang sulit menjadi gampang. Seorang guru jangan terlalu berharap dengan hasil pembelajaran yang maksimal apabila tidak bisa menciptakan kondisi awal siswanya untuk siap menerima pelajaran. Salah satu indikator siswa siap belajar adalah siswa dipastikan senyum (tertawa) sebelum pelajaran dimulai.

Jangan pernah memulai pelajaran sebelum siswa Anda "unjuk gigi" (baca: senyum atau tertawa). Jika wajah para siswa Anda masih layu, cemberut, asam, muram, apalagi tegang jangan mulai atau hentikan dulu pemembelajaran Anda. Kalau boleh dianalogikan pembelajaran itu seperti orang mengisikan air dari ember ke dalam gelas-gelas, ketika guru memasuki ruang kelas, siswanya itu seperti deretan gelas yang masih berantakan. Ada yang sudah tegak dan tengadah, ada yang masih miring, roboh, bahkan ada yang masih tengkurap. Bagi yang sudah tegak dan tengadah, gelas tersebut siap diisi oleh guru dengan air (ilmu pengetahuan), namun bagaimana dengan gelas yang masih dalam posisi miring, roboh, bahkan yang masih tengkurap itu. Bisa masukkah seandainya seember air dikucurkan kepada gelas-gelas tersebut? Itulah tugas guru untuk mengondisikannya lebih dahulu dengan kelakar dan joke-joke segarnya.

Sudah banyak teori yang menyarankan penerapan pembelajaran yang menyenangkan. Di antaranya Quantum Teaching, Quantum Learning, PAKEMI (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, dan Inovatif), bahkan secara eksplisit juga sudah diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, dan menyenangkan. Semua ini kata kuncinya adalah guru. Bisakah guru membawa siswanya ke dalam dunia pembelajaran yang menyenangkan. Salah satu tipe guru yang memenuhi syarat untuk hal tersebut adalah guru yang humoris.

Secara umum guru yang humoris adalah sosok guru yang dekat di hati siswanya. Dengan kedekatan tersebut, ada kontribusi positif terhadap keberhasilan pembelajaran. Kehadiran guru di kelas dan di arena pembelajaran senantiasa dirindukan oleh para siswanya. Keteladanan dan performennya pasti diidolakan di kalangan siswanya. Begitu pula apa yang disampaikan (pelajaran) oleh guru akan diterimanya dengan antusias dan perasaan yang menyenangkan. Mustahil seseorang bisa menerima sesuatu (baca: pengetahuan) dari orang lain tanpa dilandasi rasa senang dan suka (cinta).

Sulit kiranya seorang guru yang memiliki sifat antagonis dengan sifat humor untuk dapat menciptakan situasi pembelajaran seperti yang disarankan di atas. Katakanlah sebagai antagonis sifat humor adalah pemarah, seram atau galak, atau lebih baik dari itu adalah serius (kaku). Kharakter-kharakter tersebut sulit digunakan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan. Justru sebaliknya, kharakter-kharakter tersebut akan menghasilkan suasana pembelajaran yang kaku, beku, dan menyeramkan bagi siswa yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya hal-hal yang buruk bagi perkembangan siswa baik secara pedagogis maupun psikologis.

Rangkaian sifat pemarah, seram, galak dari seorang guru biasanya adalah hukuman atau sanksi bagi para siswa baik sekadar berupa bentakan, makian, sampai dengan hukuman fisik (tindakan). Hal yang demikian tidak memberikan dampak yang positif terhadap pembelajaran, justru sebaliknya. Marah dan hukuman fisik yang keras bukan merupakan tindakan perbaikan, melainkan hanya merupakan tindakan balas dendam. Pembelajaran dan pendisiplinan yang dilakukan dengan marah dan hukuman hanya akan menghasilkan akibat buruk seperti di bawah ini.

Pertama, cacian, makian, serta tindakan keras secara lambat laun akan menjadikan siswa percaya bahwa mereka adalah persis dengan apa yang dikatakan oleh guru kepadanya. Karena, seakan-akan guru - yang juga merupakan orangtua keduanya - benci kepadanya dan pada akhirnya ia juga segera membenci dirinya sendiri.

Kedua, sebagai akibat berikutnya adalah anak akan kehilangan kepercayaan diri sendiri atau selalu merasa rendah diri. Bagaimana mereka bisa percaya diri untuk berhasil apabila mereka selalu merasa tidak bernilai. Semangat mereka akan selalu dilemahkan oleh perasaannya sendiri bahwa dirinya adalah sosok yang rendah, tidak mampu, bahkan hina seperti isi caci-maki gurunya. Pikiran mereka selalu dipenuhi dengan rasa bersalah dan perasaan tidak bernilai terhadap dirinya. Akhirnya, mereka tidak pernah bisa memecahkan permasalahannya karena permasalahan tersebut tidak pernah menjadi bahan dan materi dalam pikirannya. Mereka senantiasa memikirkan rasa bersalah dan betapa tidak bernilainya diri mereka.

Ketiga, setiap siswa yang berhasil dalam proses belajar pasti sadar bahwa kerja keras akan memberikan suatu tingkat keunggulan pada dirinya dan sebaliknya kelalaian akan memberikan petaka/ kerugian. Sementara, siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui kemarahan akan mengalami kesulitan untuk belajar dari kesalahan dan kegagalan. Siswa yang biasa dicaci-maki, dihukum, dan dikritik dengan rasa marah akan menjadi begitu takut. Sehingga, mereka segera belajar bahwa tindakan yang aman adalah tidak berbuat atau bertindak apa-apa. Mereka selalu takut salah yang pada akhirnya tidak pernah ingin mencoba dan mencoba lagi. Karena ketakutannya tersebut mereka menjadi canggung dan selalu beranggapan bahwa dirinya sebagai orang yang tidak cakap dan orang yang gagal.

Keempat, harapan guru untuk sukses dan berhasil dalam pembelajarannya adalah sesuatu yang wajar. Namun, kemarahan dalam proses membelajarkan mereka akan menimbulkan pergumulan antara keinginan mereka untuk berhasil dengan tuntutan keberhasilan dari guru. Jika sikap mental ini menjadi pilihan mereka, maka siswa akan menjadi tegang dalam menyelesaikan setiap tugas-tugasnya. Sebab, mereka akan merasa selalu dihantui oleh tuntutan-tuntutan tersebut.

Kelima, bila siswa sudah mulai menyadari bahwa kemarahan guru terhadap kesalahannya memang benar, mereka akan merasa sakit hati dan benci kepada orang yang menghukumnya. Kalau siswa sudah benci kepada seorang guru, jangan berharap mereka akan mengikuti pelajaran guru tersebut dengan baik. Sebab, kebencian siswa kepada seorang guru identik dengan kebencian siswa kepada pelajaran yang diampu oleh guru tersebut. Lebih jauh dari hal tersebut, kebencian siswa kepada guru akan menimbulkan rasa balas dendam yang akibatnya tidak pernah kita inginkan.

Masih lekat di ingatan kita beberapa prinsip dalam revolusi belajar. Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan; jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas; jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu; jika anak tidak banyak dipersalahkan, ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri; jika anak mengenyam rasa nyaman, ia akan terbiasa mengandalkan diri dan mempercayai orang sekitarnya; jika anak dikerumuni keramahan (baca: humor), ia akan terbiasa berpendirian. Selamat merefleksi diri dan merenung kembali wahai para guru.

Read More...