English By Radio Elvictor FM

English By Radio Elvictor FM

Jumat, 13 Juni 2008

Professional Teacher

Menerawang Guru yang Profesional

Oleh : Sulardi, S.Pd

Guru Bahasa Inggris SMK Penerbangan Sedati-Sidoarjo



Guru sebagai tenaga profesional telah ditetapkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 39 Ayat 2, yang kemudian dicanangkan pula oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan Hari Guru 2004.

Undang-Undang Sisdiknas tidak menjabarkan lebih jauh seperti apakah guru profesional tersebut. Namun ia menetapkan bahwa seorang guru harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar (Pasal 42 Ayat 1) yang ketentuannya akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) Nomor 19/2005 tidak secara eksplisit dinyatakan guru sebagai jabatan dan atau pekerjaan profesional. Di sini hanya disebutkan seorang guru sebagai agen pembelajaran diharuskan memiliki kompetensi profesional, di samping kompetensi lainnya: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial (Pasal 28 Ayat 3).

Poin penting dari PP SNP dalam perkara ini adalah menetapkan bahwa setiap pendidik di setiap jenjang pendidikan harus memiliki kualifikasi akademik minimum D4 atau sarjana (S1) pada bidang/program pendidikan yang sesuai dengan bidang yang diajarkan atau sesuai dengan jenjang tempat mengajar, dan harus pula memiliki sertifikat profesi guru (Pasal 29). Tetapi, uraian lebih lanjut tentang kualifikasi akademik dan kompetensi akan dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan ditetapkan dengan peraturan menteri.

Dalam RUU Guru dan Dosen, draf terakhir (22 November 2005), pengertian kata profesional (Pasal 1 Ayat 5) adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupannya yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi. Rumusan ini tidak memberikan spesifikasi mengenai guru profesional. Rumusan itu mungkin akan lebih berguna apabila lebih dijuruskan kepada keguruan dan kedosenan ketimbang yang generik, karena secara implisit profesional yang dipikirkan dalam RUU ini adalah pekerjaan atau jabatan guru dan dosen, bukan yang lainnya.

Seharusnya kita akan menjadi lebih terang setelah membaca pasal-pasal tentang kualifikasi, kompetensi, sertifikasi, dan prinsip profesional calon guru atau guru. Namun, sayangnya, penggunaan istilah-istilah ini sedikit saja menolong, selebihnya justru mengacaukan pemahaman kita.

Selanjutnya, tentang Prinsip Profesional dalam Bab III Pasal 7 Ayat 1 sepertinya menjadi persyaratan administratif belaka. Ia tidak menunjukkan kemahiran apa yang menjadi ciri khas dan dasar untuk menilai guru dan dosen profesional jika dibandingkan dengan yang bukan profesional. Seharusnya sebuah prinsip adalah sesuatu yang menyatu (innate), tetap (immanent), dan menjadi basis untuk menjelaskan serta membedakan sesuatu fenomena yang sejenis. Sebagai contoh kita dapat dengan mudah membedakan fenomena seorang dokter dengan mantri atau dengan seorang dukun melalui cara kerjanya.

Cukup sekali

Setakat ini kita baru dapat menerawang sosok guru profesional dalam RUU tersebut. Seperti telah ditetapkan dalam PP SNP, RUU ini menetapkan kembali kualifikasi calon guru, yaitu lulusan program sarjana (S1) atau program diploma empat (D4). Ia juga harus memiliki sertifikat kompetensi sebagai bukti formal pengakuan terhadap kompetensinya sebagai agen pembelajaran. Sertifikat ini dapat diperoleh setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

Selain memiliki ijazah S1 atau D4 dan memiliki sertifikat kompetensi, seseorang yang hendak menjadi guru harus juga memiliki sertifikat profesi. Sertifikat profesi adalah bukti formal sebagai pengakuan kewenangan bagi yang telah memiliki kualifikasi akademik minimal dan sertifikat kompetensi. Sertifikat ini dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.

Kiranya perlu diperjelas lagi, apakah ini maksudnya satu paket dengan sertifikasi kompetensi, seperti yang dialami oleh lulusan S1 FKIP/lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) selama ini, di mana ketika tamat mengantongi dua ijazah sekaligus: ijazah S1 keguruan dan ijazah/akta IV. Proses sertifikasi dalam RUU ini terkesan sangat birokratis dan bertele-tele, yang akan menjadi lahan baru korupsi. Penyederhanaannya ialah menggabungkan program sertifikasi kompetensi dan sertifikasi profesi. Program ini cukup mengeluarkan sertifikat profesi namanya, bukan sertifikat kompetensi, sesuai dengan kegiatannya, Program Pendidikan Profesi Guru.

Sebagai perbandingan adalah profesi kedokteran. Seorang sarjana/S1 kedokteran (SKed) harus mengikuti pendidikan profesi yang disebut coassistant (kepaniteraan) selama lebih kurang dua tahun. Setelah lulus ia menyandang profesi dokter dan memperoleh ijazah dokter. Kemudian ia melapor ke Departemen Kesehatan untuk registrasi dengan memperoleh surat penugasan (SP) sebagai dokter (umum/spesialis) yang berlaku seumur hidup.

Dengan SP itu (bukan SK pegawai), seorang dokter dapat bertugas/bekerja di lembaga negeri atau swasta di mana saja di seluruh wilayah Indonesia. Tetapi, untuk praktik ia harus memperoleh surat izin praktik (SIP) yang ia peroleh dari dinas kesehatan kota/kabupaten dengan rekomendasi IDI setempat.

Beberapa poin barangkali dapat ditiru dari model profesi kedokteran. Pertama, sertifikasi profesi guru cukup dengan satu sertifikat profesi dan tentu berlaku seumur hidup, seperti halnya ijazah dokter. Untuk itu, ketentuan yang mewajibkan guru atau dosen memperbarui sertifikat kewenangan mengajar secara berkala melalui uji kompetensi tidak diperlukan karena akan menimbulkan lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Jika dimaksudkan pasal itu adalah untuk promosi dan peningkatan kualitas, maka yang diperlukan adalah pelatihan yang diakhiri ujian kompetensi dengan reward tertentu sehingga menimbulkan efek peningkatan etos kerja bukan efek menakutkan.

Kedua, perlu dipikirkan sebuah model registrasi guru profesional yang sederhana tidak mempersulit, tidak menimbulkan pungli dan berlaku seumur hidup. Ini sangat penting agar data jumlah guru menjadi valid. Problem guru non-PNS sukar dipecahkan selama ini salah satunya bermula dari ketiadaan data akurat.

Ketiga, RUU Guru dan Dosen perlu memberikan garis besar model pendidikan guru profesional. Sebab, implementasi UU ini kelak menimbulkan perubahan pada minat masyarakat terhadap profesi guru dan dosen pada satu sisi, dan menuntut perombakan besar-besaran dalam LPTK kita.

Terawangan

Hasil terawang kita terhadap RUU GD adalah bahwa calon guru/guru profesional adalah berkualifikasi S1 atau D4. Selain itu, memiliki sertifikat kompetensi yang menandai kemampuannya, yaitu: kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.

Kompetensi-kompetensi ini dapat peroleh melalui pendidikan profesi sebanyak 36 SKS pada perguruan tinggi yang mempunyai program pengadaan tenaga kependidikan. Dari perguruan tinggi yang sejenis itu pula calon guru juga diharuskan memperoleh sertifikat profesinya. Ini semua dimaksudkan meningkatkan harkat dan martabat guru (Pasal 4).

Setelah diatur dalam UU Sisdiknas, dicanangkan oleh Presiden, disediakan direktorat khusus (baru) Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, maka RUU Guru dan Dosen harus mengapresiasi gagasan guru profesional secara lebih gamblang, agar ia terang tanpa terawang.


0 komentar: